Eric Liddell : The Chariots of Fire

ADSENSE HERE!
Chariots of Fire adalah kisah nyata tentang iman, keberanian dan pengorbanan diri dari seorang pelari Skotlandia yang saleh, Eric Liddell yang berlomba untuk kemuliaan Tuhan. Skenarionya ditulis oleh  Colin Welland disutradarai oleh Hugh Hudson. Tahun 1981 filmnya mendapat 7 nominasi Academy Awards dan akhirnya meraih empat Oscar termasuk film terbaik. Berbujet rendah dan tidak diunggulkan, film ini (seperti kisah nyata Eric Liddell) mengalahkan The Reds yang dibintangi aktor terkenal Warren Beatty. Chariots of Fire adalah film tentang olah raga kedua yang meraih Oscar setelah Rocky.  Setting dari film ini adalah pada peristiwa sebelum Olimpiade dan puncaknya Olimpiade tahun 1924 di Paris. 

Kisah filmnya berfokus pada Eric Liddell dari Skotlandia dan rekannya Harold Abrahams dari Inggris,  dua pelari top di Inggris pada awal 1920-an..  Eric dan Harold adalah dua pelari yang  berlawanan kutub. Abramson sangat kaya, sombong, kasar, dan terfokus pada ketenaran pribadi dan kemuliaan diri.  Eric berasal dari kelas menengah, outgoing, ramah, suka berteman, dan terfokus pada sukacita berjalan dan melayani Tuhan. 

Dalam pertandingan terakhir mereka untuk lari 100 meter, Eric meninggalkan Abramson dalam kekalahan dan debu - kekalahan menyakitkan yang mendorong Abramson untuk menyewa pelatih khusus dan berupaya untuk memperbaiki prestasinya. Eric sendiri  tidak menyewa pelatih khusus karena pelatihnya adalah Allah sendiri.


Eric adalah atlit yang tangguh dan tidak mudah menyerah. Eric, sebagai seorang atlit sejati tidak pernah menyalahkan lawannya atau keadaan saat menghadapi tantangan dan rintangan dalam pertandingan. Dalam sebuah adegan ada perlombaan persahabatan lari 400 meter antara atlit Prancis dan Skotlandia. Liddell memulai startnya dengan baik bersama para sprinter lainnya dan persaingannnya sangat ketat. Mereka saling menempel satu dengan yang lain.  Tapi tiba-tiba dengan sengaja dia didorong oleh salah satu pelari dari Prancis. Eric langsung terjungkal dan jatuh ke luar lintasan. Tanpa menunggu lama dan komplain, dia langsung bangkit. Dengan mengerahkan segenap energinya yang ada dia pun mengejar para pelari yang sudah berada jauh di depannya. Dan dia berhasil. Dia berhasil mendahului para pelari terdepan dengan perbedaan jarak yang sangat jauh yaitu 20 meter dan dia menjadi juara tetapi langsung ambruk begitu menembus pita garis finis. Aslinya peristiwa itu terjadi pada bulan Juli 1923 dalam pertandingan antara Skotlandia, Inggris dan Irlandia. Kemenangannya sangat luar biasa karena pada hari yang sama dia memenangkan lomba untuk lari 100 yard dan 220 yard!


Puncak karirnya adalah Olimpiade 1924 di Paris. Eric berada dalam tim yang sama dengan Abramson – membela bendera Inggris. Saat sedang berada dalam kapal menuju Paris, Eric mendapat kabar bahwa lomba  lari 100 meter akan diadakan pada hari Minggu. Dia langsung  memutuskan untuk membatalkan keikutsertaannya pada lomba yang merupakan spesialisasinya karena berkeyakinan bahwa hari Minggu adalah Hari Sabat. Keyakinan iman Presbyteriannya sangat kuat sehingga dia tidak ragu sedikitpun atau menyesal dengan keputusannya. Menjelang hari H lomba 100 meter, bujukan pun datang dari pihak keluarga Kerajaan dan Komite Olimpiade Inggris yang membujuknya dengan  mengatakan bahwa dia seharusnya mengutamakan untuk membela Raja baru kemudian Tuhan. Berikut petikan dialog Eric Lidell dengan Prince of Wales :

HRH Edward, Prince of Wales: There are times when we are asked to make sacrifices in the name of that loyalty. And without them our allegiance is worthless. As I see it, for you, this is such a time.
 

Eric Liddell: Sir, God knows I love my country. But I can't make that sacrifice.

Dia bersikukuh dan mengatakan bahwa Sabat adalah milik Tuhan. Akibat keputusannya itu dia dikecam media Inggris, dicemooh di jalanan karena dianggap tidak patriotis dan nasionalis. Dia dikritik sebagi pengkhianat karena mengutamakan Tuhan daripada negara. Perlombaan 100 meter itupun  akhirnya dimenangkan Abramson. 


Pada hari Minggu, hari perlombaan itu, Eric memilih untuk berkhotbah di sebuah gereja di Paris. Teksnya diambil dari  Isaiah 40:31: "But they that wait upon the Lord shall renew their strength; they shall mount up with wings as eagles; they shall run, and be not weary; and they shall walk, and not faint." "Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah." 

Beberapa saat kemudian diumumkan bahwa Eric akan mengikuti perlombaan 200 dan 400 meter, perlombaan yang bukan spesialisasinya. Ya, Eric memutuskan bertanding di dua nomor yang bukan spesialisasinya. Para penonton tidak memfavoritkan dia untuk menang dalam dua nomor ini. Pada perlombaan lari 200 meter kembali mempertemukannya dengan rekan satu timnya, Abramson. Abramson bermodalkan kepercayaan diri dengan kemenangan 100 meter di final sebelumnya maju dan ia yakin akan menang. Kedua pelari menghadapi empat sprinter Amerika. Eric dan Harold mengawali startnya dengan buruk dan pada akhirnya Jackson Scholz peraih medali perak 100 meter yang menjadi juara. Eric finish di urutan ketiga, meraih perunggu. Harold? Finish di urutan paling belakang (nomor 6). Kekalahan terburuk bagi Harold dan sebenarnya barulah permulaan kemenangan bagi Eric. 

Tiba pada perlombaan lari 400 meter. Dalam atletik lomba yang bergengsi adalah 100 meter tapi di Olimpiade di Paris kali ini puncaknya adalah lomba 400 meter. Eric datang sebagai pelari yang tidak diunggulkan. Tim yang diunggulkan adalah Amerika Serikat. Sayup-sayup terdengar gemuruh suara penonton,"USA, USA, USA". Sebelum lomba seperti biasa dia menunjukkan sportivitasnya dengan menyalami para lawan-lawannya. Saat bersiap-siap di belakang balok start, seorang ofisial Amerika memberikannya selembar kertas berisi tulisan  : “Those who honor me I will honorGood Luck” (kutipan dari  1 Samuel 2:30: Siapa yang menghormati Aku akan kuhormati”).


Those who honor me I will honor,” dengan menggenggam kertas ini dan berpegang pada keyakinannya, dia siap berlari. Eric sendiri berada di posisi luar lintasan, jalur yang sebenarnya tidak menguntungkan bagi seorang pelari. Berada di jalur dalam pelari bisa melihat lawannya tetapi kalau di jalur luar dia tidak bisa melihat lawan dan jarak dengan lawannya.  Dia mengatakan,”Rahasia kesuksesan saya untuk lari 400 meter adalah pada 200 meter pertama saya akan lari secepat yang saya bisa dan di 200 meter kedua, dengan pertolongan Tuhan, saya akan lari semakin cepat".

 Itulah yang dilakukannya. Pada 200 meter pertama waktu yang dibukukan Lidell adalah 22,2 detik, waktu yang sangat luar biasa dan menempatkan dia tiga meter di depan temannya sesama pelari Inggris, Guy Butler. Lidell akhirnya menembus garis finis dan membukukan waktu 47.6 detik, suatu rekor Eropa dan Olimpiade pada saat itu. Kemenangannya sangatlah tidak diduga dan tidak diharapkan.



Cara Eric berlari sendiri sangat tidak lazim, dia selalu mengangkat kepala dan memejamkan mata pada saat dia mendekati garis finish. Dia fokus ke depan dan memandang dengan sukacita ke surga. Dia tidak kuatir untuk menoleh ke belakang dan merasa terancam dengan pelari di belakangnya. Dalam final 400 meter, sambil berlari menjelang garis finis dia mendongakkan kepalanya ke belakang seperti biasa dan dengan mulut terbuka dan memejamkan mata : "I believe God made me for a purpose, but he also made me fast. And when I run I feel His pleasure." 

Eric datang dan berlari di stadion bukan demi dirinya tetapi dia berlari untuk Tuhan. Banyak pelari yang berlari demi sepatu yang menjadi sponsornya atau demi ketenaran. Banyak pelari lain berhenti untuk berpose untuk foto atau untuk membungkus diri dalam kemuliaan, namun tidak bagi Eric. Kemenangan-Nya adalah kemenangan untuk Tuhan dan bukan untuk dirinya sendiri. Eric sebenarnya dia bisa menikmati ketenaran dan kekayaan dengan mengejar kemenangan dan sponsor. Tapi dia tetap setia pada panggilan dan tujuannya. Dia justru menggunakan ketenarannya untuk berbicara tentang Kristus. 

Selepas Olimpiade, dia masih mengikuti beberapa lomba dan mengukuhkannya sebagai The Flying Scotsman. Setahun kemudian dia pergi melayani di Cina sampai akhir hidupnya. 

Abramson sendiri memuji dan mengakui kolega sekaligus saingannya. "Eric selalu menunjukkan keberanian yang luar biasa,”Kata Abramson yang akhirnya menjadi komentator dan penulis atletik yang sangat dihormati. “Eric akan diingat sebagai seorang atlit terbaik yang melakukannya dengan sepatu lari.” 

Tahun 1991, lebih dari 40 tahun setelah dia meninggal dan satu dekade setelah kisahnya difilmkan, sebuah monumen batu berukirkan tulisan yang mengenai kehidupannya dipertunjukkan di propinsi Tientsien. Ayatnya dari Yesaya 40:31: "They shall mount up with wings as eagles; they shall run and not be weary."”Mereka seumpama rajawali yang naik terbang i dengan kekuatan sayapnya, mereka berlari dan tidak akan menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah”.

Memorable Quotes from The Chariots of Fire : 

Eric Liddell : You came to see a race today. To see someone win. It happened to be me. But I want you to do more than just watch a race. I want you to take part in it. I want to compare faith to running in a race. It's hard. It requires concentration of will, energy of soul. You experience elation when the winner breaks the tape - especially if you've got a bet on it. But how long does that last? You go home. Maybe you're dinner's burnt. Maybe you haven't got a job. So who am I to say, "Believe, have faith," in the face of life's realities? I would like to give you something more permanent, but I can only point the way. I have no formula for winning the race. Everyone runs in her own way, or his own way. And where does the power come from, to see the race to its end? From within. Jesus said, "Behold, the Kingdom of God is within you. If with all your hearts, you truly seek me, you shall ever surely find me." If you commit yourself to the love of Christ, then that is how you run a straight race. 

Eric Liddell : I believe God made me for a purpose, but he also made me fast. And when I run I feel His pleasure. 

Eric Liddell : God made countries, God makes kings, and the rules by which they govern. And those rules say that the Sabbath is His. And I for one intend to keep it that way. 

Reverend. J.D. Liddell: You can praise God by peeling a spud if you peel it to perfection. Don't compromise. Compromise is a language of the devil. Run in God's name and let the world stand back and in wonder. 

Fakta menarik tentang film ini : 

  • Ian Charleson sebagai pemeran Eric Liddell menulis sendiri pidato atau tepatnya khotbah dalam sebuah adegan di mana Liddell berpidato saat pertandingan antara Skotlandia dan Irlandia
  • Pemeran Harold Abramson yakni Ben Cross mengakui bahwa dia tersentuh dan menangis karena script film ini.
Sumber : (timesonline & wikipedia) 




ADSENSE HERE!

No comments:

Post a Comment

Komen dong, tapi yang sopan dan tidak spam ya

Arsip Blog

Copyright © Spesial Unik. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design