Showing posts with label Cerita Inspiratif. Show all posts
Showing posts with label Cerita Inspiratif. Show all posts

Enjoy the Moments

Enjoy the Moments

Life is not a matter of milestones, but a matter of moments” – Anonim


Seorang ayah memenuhi janjinya untuk mengajak anaknya pergi memancing. Dengan bersusah hati diantara schedulenya yang padat, si ayah berusaha mengambil cuti. Dan akhirnya, berangkatlah ia dengan anaknya, untuk pergi memancing. Seharian mereka memancing, tetapi tidak mendapatkan seekor ikanpun. Dengan marah-marah, akhirnya sampai sore, mereka pun pulang. Puluhan tahun berlalu, ternyata pengalaman ini dicatat oleh mereka masing-masing dalam diary harian mereka. Ketika dibaca ulang, diary si ayah bunyinya begini, "Kurang ajar. Hari yang sial! Saya sudah cuti seharian untuk memancing, ternyata tidak mendapatkan seekorpun. Sebel banget!" Sementara itu, diary anaknya pun dibuka, ternyata kalimatnya, "Terima kasih Tuhan. Hari yang luar biasa. Saya pergi memancing bersama ayah. Meskipun tidak mendapatkan seekor ikanpun, tetapi saya punya kesempatan ngobrol-ngobrol banyak dengan ayah. Sangat menyenangkan!"

Pembaca, betapa berbedanya sudut pandang si ayah dengan si anaknya. Bagi si ayah, yang terpenting adalah mendapatkan ikan-ikan, sementara bagi si anak, justru pengalaman memancing bersama itulah yang menyenangkan. Itulah orang-orang yang seringkali saya bicarakan di dalam seminar dan training saya, satunya lebih menghargai 'milestones' sementara lainnya, lebih menghargai 'moments'.

Kejadian ini sebenarnya mengingatkan saya dengan pengalaman bertemu dengan seorang General Manager sebuah perusahaan ritel, dimana ia sangat sukses dan berhasil tetapi dalam konselingnya dengan saya, mukanya tampak letih. Singkatnya, ia mengatakan, "Aku capek, sangat keletihan. Hidupku rasanya bergerak dari satu target ke target lainnya". Tidaklah mengherankan bagi saya kalau si GM ini keletihan hidupnya. Yang muncul adalah perasaan kasihan saya karena hidupnya hanyalah kumpulan dari gol satu ke gol lainnya. Bahkan, dengan keluarganya pun ia hampir tidak mempunyai waktu. Bahkan, untuk jalan-jalan dengan keluarganya saja, ia harus menjadwalkan, seakan-akan menset target apa yang harus dicapai dalam piknik keluarganya, dll. Sungguh meletihkan sekali melihat hidupnya!


Pelari Marathon atau Pendaki Gunung?
Metafora ini saya gunakan hanya untuk menggambarkan dua jenis orang di dalam menikmati hidupnya. Yang pertama, saya umpamakan seperti seorang pelari marathon. Saya ingat, saya pernah mengikuti beberapa kali lomba marathon, dan itu sangat menyenangkan. Masalahnya, saat mengikuti merathon, saya berlari dengan serius. Terfokus pada satu titik ke titik yang lain, hingga selesai . Bahkan, penonton yang di tepi jalanpun saya cuekin. Saya hanya terfokus untuk berlari dan akhirnya bisa sampai ke garis finish (ngomong-ngomong, ini mungkin tidak mewakili semua pelari marathon karena toh ada rekan saya yang bisa sangat menikmatinya). Singkat cerita, inilah tipe yang saya anggap mewakili orang yang hidupnya hanya dari satu 'milestones' (tahapan) ke 'milestone' yang lainnya.

Bandingkanlah gaya pelari marathon ini dengan gaya seorang pendaki gunung. Saya ingat, saya pun pernah punya berkesempatan mendaki gunung. Sungguh pengalaman yang agak berbeda dengan pengalaman jadi pelari marathon. Dalam mendaki gunung, kami memang punya tujuan yang harus dicapai, yakni puncaknya. Tetapi, sepanjang perjalanan, kami bisa bernyanyi-nyanyi, saling bercerita bahkan sesekali berhenti sejenak jika ada sesuatu yang menarik untuk dinikmati. Sungguh menyenangkan berkesempatan menikmati satu demi satu tempat yang kami lalui. Dan inilah metafora yang saya anggap mewakili orang yang hidupnya bisa bergerak dari 'moment' ke 'moment'.

Nah, dengan kedua metafora tersebut, saya ingin mengajak Anda untuk merefleksikan bagaimanakah kecenderungan sikap Anda dalam menghadapi hidup ini, dalam menyikapi pekerjaan Anda, dalam menyikapi proses perkembangan anak Anda? Terlalu banyak karyawan, pimpinan maupun orang tua yang menyikapi pekerjaan dan keluarganya seperti 'milestones'. Memang sih, pada akhirnya banyak yang bisa mereka raih, tetapi sekaligus, mereka juga banyak kehilangan sisi menyenangkan (fun) dalam hidup ini. Bayangkanlah seorang manager yang stres dan mulai kebosanan karena hidupnya hanya dari satu KPI (Key Performance Indicator) ke KPI lain, satu scorecard ke scorecard yang lain. Ataupun, bayangkan seorang tua yang melihat anaknya seperti sesuatu target yang bergerak. Akan sangat meletihkan.

Sebaliknya, bagi saya, kita bisa tetap sambil menikmati 'moment' sambil berusaha menggerakkan diri kita mencapai yang lebih baik. Kita bisa mencapai 'gunung impian' kita tanpa kehilangan kesempatan untuk berhenti, menikmati indahnya pemandangan dan bercanda ria. Jadi, mulai sekarang perlakukan hidup kita sebagai 'moment' bukan sebagai 'milestone' sehingga pada akhir ajal menjelang kita, akan ada banyak hal moment indah yang bisa dikenang! Salam Antusias selalu!



Best regards,

Anthony Dio Martin




Cerita Motivasi Tentang Monyet....

Seorang profesor sedang mengadakan penelitian terhadap beberapa ekor monyet.
Monyet A dan monyet B dimasukkan kesebuah ruangan tertutup yang didalamnya diletakkan sebatang tiang, dimana pada puncak tiang itu terdapat satan dan pisang.
Monyet A mulai memanjat tiang itu, pada saat yg bersamaan sang profesor menyiramkan air sehingga terpelesetlah monyet A dan jatuh.
Monyet A berusaha untuk memanjat lagi, tapi krn licin, kembali dia terjatuh, begitu seterusnya, sehingga monyet A menyerah.
Kemudian giliran monyet B, melakukan hal yg sama dengan monyet A, berulang kali mencoba dan jatuh, menyerah jugalah monyet B.
Kemudian, sang profesor memasukkan monyet C kedalam ruangan tersebut.
Monyet C ingin memanjat tiang tsb, sebelum hal itu terjadi, monyet A dan monyet B dengan semangat menasehati monyet C untuk tidak mengalami hal yang konyol yaitu terpeleset dan jatuh.
"Percuma kamu memanjat tiang itu, kami berdua sudah mencoba berulang kali tetapi selalu gagal"
Akhirnya monyet C menuruti nasehat kedua monyet itu, dia tidak berusaha mencoba memanjat lebih dahulu.


Kemudian sang profesor mengeluarkan monyet A dan B, dimasukkannyalah monyet D dan monyet E.
Monyet D dan monyet E ingin sekali memanjat tiang itu, tetapi monyet C mencoba menasehati mereka untuk tidak sekali-kali memanjatnya kalau tidak ingin terpeleset dan jatuh.
Monyet D mendengar dan mematuhi nasehat tsb, dia tidak berusaha untuk memanjat.
Tapi lain halnya dengan monyet E, dia tidak mendengarkan nasehat itu, dia tidak terpengaruh dengan nasehat itu, dia mulai mencoba untuk memanjat.
"Apa salahnya mencoba" pikir monyet E Karena sang profesor tidak memberi air lagi pada tiang itu, monyet E akhirnya dapat mencapai puncak dan mendapatkan pisang.

Apa moral cerita ini?

Ada beberapa karakter yang dapat kita jumpai.
Monyet A dan monyet B:
Ibaratnya adalah orang yang mempunyai karakter dengan mudahnya menyerah kalah dan dengan mudahnya mempengaruhi orang lain untuk tidak berusaha, menanamkan input-2 negatif kepada orang lain.

Padahal : 99% kita-2 yang merasa gagal sebetulnya belum tentu gagal hanya saja kita cepat menyerah.

Sangat disayangkan bahwa dunia ini sebenarnya dipenuhi oleh orang-2 hebat yang potensial tetapi terlalu cepat menyerah.
Banyak dari kita yang keburu sudah mati sebelum mencoba menggali seluruh potensi yang ada pada diri kita.

Monyet C dan monyet D :
Ibaratnya adalah orang yang mempunyai karakter mudah sekali percaya dengan input-2 negatif yang dia terima, tanpa mau bersudah-susah untuk meraih kesuksesan, orang-2 yang takut gagal, padahal belum mencoba.
Kita cenderung mengikuti falsafah Jan Spoelman "Kalau ragu, lebih baik tidak usah dilakukan"
Jika kita tidak pernah mencoba, kita sudah pasti tidak akan pernah berhasil. Kita berjuang bukan dengan kepandaian, tetapi dengan kegigihan.

Monyet E:
Ibaratnya adalah orang yang mempunyai karakter tidak mudah terpengaruh dengan input-2 negatif, orang yang selalu berjuang untuk mendapatkan kesuksesan, berani mencoba, tidak takut gagal Tidak ada seorangpun didunia ini yang tidak pernah mengalami kegagalan. Orang yang sukses selalu bangkit kembali meskipun sudah jatuh. Kalau kita ingin berhasil, kita harus berani mengambil RESIKO.
Have a positive day!

Mohamad Yunus, CHt, MNLP




Open Your Mind

SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang kerja saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat (AS).

Sebagai teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan seorang profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain mengajar, saya juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya. Dengan mimik penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia menunjuk lembar jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda (multiple choice) yang baru saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak terlalu jelek,tetapi dia kurang puas dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang dianggapnya terbuka untuk didiskusikan. Setelah membacanya kembali, tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang konyol sekali.

Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. "Berapa lama rata-rata rumah tangga menggunakan handuk mandi?" Tentu saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset, maka mahasiswa harus menguasai dasardasar perilaku konsumen yang datanya diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks. Jadi kalau buku dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah menemukan jawabannya. Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga mengonsumsi handuk selama delapan tahun. Dia memilih jawaban dua tahun.Tentu saja saya mencoretnya.

Bagi seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja. Namun cerita berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan Anda tentang cara mendidik atau bahkan membimbing orang lain, karyawan,atau bahkan diri sendiri agar berhasil dalam hidup.






Kekuatan Argumentasi

Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, "Prof," ujarnya. "Jawaban ini salah." Saya mengernyitkan dahi.Maklum, belum pernah saya mendengar seorang mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan soal, apalagi menyalahkan isi buku. "Maksud saya, setelah saya tanya-tanya ke kiri-kanan, tak ada orang yang menyimpan handuk mandi sampai 8 tahun,"lanjutnya.

"Jadi berapa tahun?" tanya saya. "Yadua tahun.Ini jawaban saya benar,"katanya lagi. Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya sewaktu kuliah dulu mengakali dosen yang "lemah". Dosen seperti itu biasanya gampang diajak kompromi dan kalau kita pintar mengambil hatinya, angka bisa berubah.Maka,di kepala saya,berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi sama dengan kelemahan, lembek, merendahkan martabat, plinplan. "Jadilah guru yang teguh." Kalimat itu terus mengalir di hati saya. Kompromi itu jelek, lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa. "Ah, kamu ini cuma cari pembenaran saja. Ini justifikasi namanya.Pokoknya jawaban Anda salah.

Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40," ujar saya pada mahasiswa tadi. "Betul,"katanya lagi. "Di buku memang tertulis begitu.Saya tahu." "Ah, Anda tidak baca saja…," ujar saya lagi. "Bukan, tetapi ini tidak masuk akal." Dia mencoba menjelaskan.Namun sebagai orang Indonesia yang terbiasa dididik tanpa kompromi di sekolah, saya mencoba untuk tidak mendengarkan argumentasinya. Saya khawatir wibawa saya terganggu. Dosen kokdidebat. Namun dia tetap menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang tidak ada lagi handuk yang seawet itu.

Dua tahun sudah rusak."Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang, lagipula mana ada produsen yang mau membuat handuk dengan material yang kuat dan harganya mahal? Konsumen memilih yang terjangkau dan produsen memilih barang-barang yang murah.Kalau cepat rusak tak apa-apa,setelah itu beli lagi,"katanya bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan penuh harap saya mau mengubah pendapat saya. Saya masih ingat dia menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu tidak dipakai rumah tangga sehingga tidak merusak material. Lama kita berdebat dan sebenarnya saya suka mempunyai peserta didik yang kritis seperti itu. Namun, sebagai guru dari Indonesia, saya tidak suka ditawar-tawar.

Ini soal integritas. "Nope," jawab saya menolak permohonannya agar saya mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan pun selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia kembali lagi. Kali ini dia datang diantar profesor saya.Seperti tak ada masalah sama sekali profesor itu datang dengan penuh senyum. "Rhenald,"ujarnya. "I talk to this guy, and I like his idea." Sudah tahu arahnya, saya pun segera menukas."Yes, he did talk to me, and indeed he was wrong. He didn't give the right answer," ujar saya.

"Saya mengerti," jawab profesor itu,"Tapi perhatikan ini.Saya suka cara berpikirnya. Dia memang memberi jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi argumentasinya kuat dan dia benar." Singkat cerita, profesor itu meminta saya agar mendengarkannya dan memahami logika anak itu. Kejadian itu sekali lagi telah membuka pikiran saya. Betapa memalukannya otak reptil saya. Guru kok tertutup. Namun, saya beruntung segera menyadari kesalahan saya. Saya belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang salah.Tertutup, tak berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa hanyalah merupakan bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya perwujudan dari rasa takut yang berlebihan saja.

Takut dibilang lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan sebagainya.Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima dan nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus yang suka menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun memberikan bonus angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar menjaga imej.

Mendidik adalah proses menjadikan orang lain seorang "master" dan bukan menciptakan pengikut.Yang ingin kita lahirkan adalah manusia yang mampu berpikir,terbuka terhadap logika. Bukan manusia-manusia dogmatik yang hanya mengikuti maunya kita,menulis apa yang kita diktekan, berpendapat apa yang menjadi pikiran kita, dan tak bisa menerima perbedaan pendapat. Malas berpikir.

Keluar dari Buku

Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak kita saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai untuk mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film yang dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile. Dalam film itu dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap kali dia menampilkan slide yang diambil dari buku, selalu disambar muridmuridnya yang berebut menjelaskan.

Dia benar-benar bingung. Muridnya aktif-aktif dan pintarpintar. Mereka sudah membaca assignment sebelum pelajaran dimulai.Mereka benar-benar telah mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk kelas dengan membaca, membuat ringkasan, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan aktif berbicara. Hari pertama mengajar dia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah merenungi dalam-dalam, dia mendapatkan ide. Kali ini dia mengajak muridmuridnya keluar dari buku teks. Dia menunjukkan slide yang sama sekali baru.Tak ada di buku dan bahan ajarannya sama sekali baru. "Coba lihatlah gambar ini. Apakah ini bagus?" Semua murid tertegun.

Gambar itu belum pernah mereka lihat dan tanpa referensi mereka tidak punya acuan sama sekali.Padahal, selama ini mereka hanya mengikuti perintah buku. Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar itu bagus. Sekarang saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun tak berani berpendapat. Mereka saling lihat kirikanan. Seorang yang mencoba menjawab kebingungan. "Apakah ada gambar yang bagus?" "Siapa yang berhak mengatakannya?" "Sesuatu yang bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya." Mereka terbelah. Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. "Look, kalian baru saja keluar dari cara berpikir buku teks," ujarnya.

Dia mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film Monalisa Smile dan kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching assistant di University of Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa yang minta agar saya mengoreksi jawaban soalnya 15 tahun yang lalu itu? Benar! Kita adalah manusia dan tugas guru adalah mendidik manusia,memerdekakannya dari segala tekanan, dari perilakuperilaku buruk, dari pikiranpikiran negatif, dari rasa sok pintarnya yang sesungguhnya belum apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma, dan mengajaknya melihat keindahan dari apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu,yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak yang terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti parasut, yang artinya dia baru bisa dipakai kalau dia mengembang dan terbuka? Itulah yang saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan terbukti mereka mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya sharing-kan kepada para guru dan dosen. Sebagian orang cepat mengubah diri, tapi sebagian pendidik lain tidak peduli dengan cara ini. Mereka tetap ingin mengajar dengan cara-cara dogmatik. Ingin dipuja tanpa argumentasi,tak mau mendengarkan, takut dibilang lembek, dan ingin diterima bak seorang ulama besar yang tak terbantahkan. Itulah hidup, tak semua orang mau berubah. Namun Anda tak perlu cemas.

Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara suratsurat cinta mereka pun ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik sejati tak akan menyerah oleh ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi pada persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya.(*)

*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI



Badai Pasti Berlalu

Badai Pasti Berlalu


Pada suatu hari, seperti biasanya kami bekendaraan menuju ke suatu tempat.
Dan aku yg mengemudi. Setelah beberapa puluh kilometer, tiba-tiba awan hitam
datang bersama angin kencang. Langit menjadi gelap. Kulihat beberapa kendaraan
mulai menepi & berhenti.

"Bagaimana Ayah? Kita berhenti?", aku bertanya.
"Teruslah mengemudi!", kata Ayah.
Aku tetap menjalankan mobilku.
Langit makin gelap, angin bertiup makin kencang. Hujanpun turun.
Beberapa pohon bertumbangan, bahkan ada yg diterbangkan angin. Suasana sangat
menakutkan.Kulihat kendaraan² besar juga mulai menepi & berhenti.



"Ayah...?"
"Teruslah mengemudi!" kata Ayah sambil terus melihat ke depan.
Aku tetap mengemudi dng bersusah payah.
Hujan lebat menghalangi pandanganku sampai hanya berjarak beberapa meter saja.
Anginpun mengguncang²kan mobil kecilku.
Aku mulai takut.
Tapi aku tetap mengemudi walaupun sangat perlahan.

Setelah melewati beberapa kilometer ke depan, kurasakan hujan mulai mereda & angin
mulai berkurang. Setelah beberapa killometer lagi, sampailah kami pada daerah yang
kering & kami melihat matahari bersinar muncul dari balik awan.

"Silakan kalau mau berhenti dan keluarlah", kata Ayah tiba².
"Kenapa sekarang?", tanyaku heran.
"Agar engkau bisa melihat dirimu seandainya engkau berhenti di tengah badai".

Aku berhenti & keluar. Kulihat jauh di belakang sana badai masih berlangsung.
Aku membayangkan mereka yg terjebak di sana dan berdoa, smg mereka selamat.
Dan aku mengerti bahwa
jangan pernah berhenti di tengah badai karena akan terjebak dalam ketidakpastian & ketakutan kapan badai akan berakhir serta apa yg akan terjadi selanjutnya.


Jika kita sedang menghadapi "badai" kehidupan, teruslah berjalan, jangan berhenti,
Jangan putus asa karena kita akan tenggelam dalam keadaan yang terus kacau, menakutkan
& penuh ketidak-pastian.

Lakukan saja apa yang dapat kita lakukan, & yakinkan diri bahwa BADAI PASTI BERLALU.

Have a positive day!

Salam Inspirasi
Mohamad Yunus, CHt, CPHR, MNLP
“MIND and BODY are ONE”




TIDAK MAU MENGALAH

TIDAK MAU MENGALAH

Seorang anak lelaki disuruh ayahnya pergi ke kota untuk membeli tepung roti.
Anak lelaki itu segera berangkat berjalan kaki. Jarak antara desa tempat
tinggalnya dan kota cukup jauh juga. Di perjalanan ia harus melewati sebuah
jembatan kecil.
Kini ia tiba di ujung jembatan kecil itu. Di seberang jalan ia melihat
seorang anak lelaki lain yang berjalan ke arahnya. Mereka berdua sama-sama
berjalan di jalur yang sama. Hingga tepat di tengah-tengah jembatan itu
mereka saling berhadap-hadapan. Keduanya berhenti dan berpandangan. Anak
lelaki itu berpikir, "Wah, kurang ajar sekali anak ini. Dia tidak mau
mengalah dan memberikan jalan padaku."
Di saat yang sama, anak lelaki lain itu berpikiran hal yang sama,
"Seharusnya dia yang mengalah dan memberikan jalan padaku."


Lama keduanya saling berdiri di tengah jembatan tanpa ada satu pun yang mau
mengalah dan memberikan jalan. Keduanya sama-sama berpikir bahwa "Aku harus
berteguh hati dan kuat pendirian." Keduanya saling berpandangan tanpa ada
satupun yang berbicara atau bergerak.
Siang pun tiba. Di rumah, ayah dari anak lelaki yang hendak pergi ke kota
itu mulai cemas memikirkan mengapa anaknya belum juga kembali. Sang ayah
lalu bergegas menyusul anaknya ke kota. Hingga akhirnya ia sampai di
jembatan dan melihat ke dua anak lelaki itu saling berdiam dan
berhadap-hadapan. Sang ayah berteriak pada anak lelakinya, "Wahai anakku,
mengapa engkau berdiri di situ?"
Anak lelakinya menjawab, "Anak lelaki ini menghalangi jalanku. Ia sama
sekali tidak mau mengalah. Bagaimana aku bisa berjalan jika ia menutup
jalanku?"
Sang ayah mulai kesal. Ia lalu berkata pada anaknya, "Sudahlah anakku,
sebaiknya kau minggir dan segera pergi ke kota untuk membeli tepung. Biar
ayahmu ini yang berdiri di sini menggantikanmu dan tidak memberikan jalan
pada anak lelaki yang tidak tahu diri ini!"
Teguh hati memang boleh. Sesekali mengalah demi tercapainya
tujuan bukanlah hal yang tercela. Tetapi bukan berarti lalu kita harus
menjadi tembok bagi tercapainya tujuan orang lain bukan?
(Disadur dari: Chinese Wisdom)

Have a Positive day!

Nilai Kehidupan

Nilai Kehidupan

Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walapun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti.
“Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini,” katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. “Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini.”
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, “Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya.”


Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, “Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini.”
Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, “Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain”.
Segera timbul kesadaran baru. “Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain”.
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.
Teman-teman yang luar biasa,
Kalau kita mengisi kehidupan ini dengan menggerutu, mengeluh, dan pesimis, tentu kita menjalani hidup ini (dengan) terasa terbeban dan saat tidak mampu lagi menahan akan memungkinkan kita mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri.
Sebaliknya, kalau kita mampu menyadari sebenarnya kehidupan ini begitu indah dan menggairahkan, tentu kita akan menghargai kehidupan ini. Kita akan mengisi kehidupan kita, setiap hari penuh dengan optimisme, penuh harapan dan cita-cita yang diperjuangkan, serta mampu bergaul dengan manusia-manusia lainnya.
Maka, jangan melayani perasaan negatif. Usir segera. Biasakan memelihara pikiran positif, sikap positif, dan tindakan positif. Dengan demikian kita akan menjalani kehidupan ini penuh dengan syukur, semangat, dan sukses luar biasa!
Salam sukses luar biasa!!!
-Andrie Wongso

Ingat Bebek

Ingat Bebek

Ingat bebek? Ada seorang bocah laki-laki sedang berkunjung ke kakek dan neneknya dipertanian mereka.

Dia mendapat sebuah katapel untuk bermain-main di hutan. Dia berlatih dan berlatih tetapi tidak pernah berhasil mengenai sasaran. Dengan kesal dia kembali pulang untuk makan malam. Pada waktu pulang, dilihatnya bebek peliharaan neneknya. Masih dalam keadaan kesal, dibidiknya bebek itu dikepala, matilah si bebek. Dia terperanjat dan sedih. Dengan panik, disembunyikannya bangkai bebek didalam timbunan kayu, dilihatnya ada kakak perempuannya mengawasi. Sally melihat semuanya, tetapi tidak berkata apapun.

Setelah makan, nenek berkata, “Sally, cuci piring.” Tetapi Sally berkata, “Nenek, Johnny berkata bahwa dia ingin membantu didapur, bukankah demikian Johnny?” Dan Sally berbisik, “Ingat bebek?” Jadi Johnny mencuci piring.

Kemudian kakek menawarkan bila anak-anak mau pergi memancing, dan nenek berkata, “Maafkan, tetapi aku perlu Sally untuk membantu menyiapkan makanan.” Tetapi Sally tersenyum dan berkata, “Tidak apa-apa, karena Johnny memberitahu kalau ingin membantu.” Kembali dia berbisik, “Ingat bebek?” Jadi Sally pergi memancing dan Johnny tinggal dirumah.

Setelah beberapa hari Johnny mengerjakan tugas-tugasnya dan juga tugas-tugas Sally, akhirnya dia tidak dapat bertahan lagi. Ditemuinya nenek dan mengaku telah membunuh bebek neneknya dan meminta ampun. Nenek berlutut dan merangkulnya, katanya, “Sayangku, aku tahu. Tidakkah kau lihat, aku berdiri dijendela dan melihat semuanya. Karena aku mencintaimu, aku memaafkan. Hanya aku heran berapa lama engkau akan membiarkan Sally memanfaatkanmu.” Aku tidak tahu masa lalumu. Aku tidak tahu dosa apakah yang dilemparkan musuh kemukamu. Tetapi apapun itu, aku ingin memberitahu sesuatu. Tuhan juga selalu berdiri di’jendela’. Dan Dia melihat segalanya. Dan karena Dia mencintaimu, Dia akan mengampunimu bila engkau memintanya. Hanya Dia heran melihat berapa lama engkau membiarkan musuh memperbudakmu. Hal yang luar biasa adalah Dia tidak hanya mengampuni, tetapi Dia juga tidak mengingat-ingat lagi dosamu.”

Perlombaan Maraton Kelinci dengan Kura-kura

Perlombaan Maraton Kelinci dengan Kura-kura

Kelinci dan kura-kura bertanding lari maraton? Dari segala aspek, tampaknya pemenangnya sudah pasti, si kelinci!!! Pertama kelinci lincah melompat dengan keempat kakinya yang beberapa kali lebih panjang dibandingkan kaki si kura-kura. Badan kelinci ringan sedangkan sang kura-kura harus mengangkuti rumahnya yang aduhai berat. Jika bertemu halangan dan hambatan, si kelinci dengan mudah dapat melewatinya, tetapi si kura-kura harus pelan-pelan memanjat dan turun lagi di sisi yang berbeda dengan hati-hati sekali agar tidak tergelincir yang kemungkinan akan menyebabkan ia terluka.
Si kelinci yang terlalu percaya diri itu hampir ternganga ketika tantangannya diterima sang kura-kura tanpa pikir panjang. Ia hanya tersenyum misterius ketika binatang-binatang lain di hutan berusaha menasihatinya untuk tidak mengikuti perlombaan di mana ia tak punya kesempatan untuk menang.
Pada hari yang telah ditentukan, matahari di musim panas bersinar sangat garang, kedua binatang yang sangat berbeda itu pun bersiap-siap di depan garis start. Ayam jantan yang bertindak sebagai juri berkokok tiga kali, dan sang kelinci melesat maju ke depan, meninggalkan kura-kura yang baru berinsut beberapa inci. Binatang-bintang lain yang menonton di sepanjang jalur pertandingan bukannya memberi semangat, malah mencemoohkannya dungu, keras kepala dan tak tahu diri.


Sang kura-kura tidak marah diejek, dengan sabar, ia tekun merangkak, beringsut maju selangkah demi selangkah. Sementara itu sang kelinci sudah tidak tampak batang hidungnya. Sang kelinci memang sudah jauh, ia telah menempuh dua pertiga jarak yang ditentukan. Kebetulan ia melewati kebun wortel, agak lapar dan haus ia pun memutuskan untuk mencuri satu atau dua buah wortel. Ia mengendap-endap sambil menunggu kesempatan baik. Ketika sang petani berjalan ke bawah sebatang pohon untuk beristirahat, sang kelinci cepat-cepat menggali dua batang wortel yang besar-besar. Dengan rakus ia menggerogoti wortel-wortel itu.
Setelah kenyang ia tidak segera kembali ke jalur pertandingan. Huh, si kura-kura bego itu pasti masih jauh. Ah, lebih baik aku tidur sebentar! Sang kelinci merebahkan dirinya dalam sebuah lubang. Tanpa terasa ia pun tertidur dengan pulas. Ia bermimpi memenangkan perlombaan dan mendapatkan hadiah yang besar. Tiba-tiba lantai panggung di mana ia berdiri sambil menerima piala dari sang musang rubuh dengan suara keras. Si kelinci kaget. Ia terbangun dan mendapati si petani sedang mengangkat paculnya dan bersiap untuk membacok tubuhnya. Ia melompat sekuat tenaga dan secepat mungkin untuk menyelamatkan diri. Petani wortel tidak tinggal diam, ia mengejarnya. Karena harus menyelamatkan nyawanya, kelinci tak sempat memperhatikan bahwa ia telah berlari ke arah yang menjauhi garis finis.
Sementara itu sang kura-kura terus merangkak. Suatu saat perjalanannya terhalang sebatang balok kayu yang besar. Berulang kali ia berusaha merangkak ke atas dan terjatuh. Ia mengulangi hingga lima kali akhirnya ia berhasil menyeret dirinya ke atas balok tersebut. Menuruni balok kayu itu pun bukan perkara mudah. Ia harus mengerah tenaga sekuatnya untuk mencengkram balok kayu yang mulai rapuh itu agar dapat turun pelan-pelan tanpa harus terjatuh.
Dan, balok kayu itu pun bukan satu-satunya penghalang. Ia pun harus merangkak naik ke atas sebuah undukan yang ternyata merupakan sarang semut api. Tentu saja serangga-serangga itu marah teritorinya dilanggar. Dengan susah payah si kura-kura menenangkan mereka sambil meminta maaf. Dengan sikap pantang menyerah, ia meneruskan merangkak, meskipun nafasnya sudah tersengal-sengal ia bertekat tidak akan beristirahat sebelum mencapai garis finis.
Mari kita kembali kepada si kelinci. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari amukan petani, ia kebingungan di suatu tempat yang tidak dikenalnya. Tetapi bukannya buru-buru mencari jalan untuk kembali ke jalur perlombaan, ia memilih beristirahat terlebih dahulu. Sambil berkeluh-kesah ia memijat-mijat kakinya yang pegal-pegal. Setelah hilang penat badannya baru ia mencari jalan untuk kembali ke jalur perlombaan. Seperti si kura-kura ia pun menemui balok kayu besar. Dengan pongah ia melompatinya. Ketika ia terhalang sarang semut api, bukannya permisi dengan sopan, ia malah mengobrak-abrik gundukan tanah yang telah memperlambat larinya itu. Tak ayal lagi semut api melakukan perlawanan, ratusan semut yang berprofesi sebagai tentara mengerunginya, menusukkan sengat mereka yang tajam-tajam membuat si kelinci menjerit-jerik kesakitan. Ia terpaksa berguling-guling di atas tanah untuk mengenyahkan pasukan semut itu. Tanpa ia sadari ia membuang waktu berjam-jam di sana.
Matahari mulai condong ke barat, ketika dengan tenaganya yang terakhir sang kura-kura merangkak melewati garis finis. Dengan girang ia melihat pita merah masih terpasang di tempatnya, pertanda si kelinci lawannya belum melewati garis finis. Binatang-binatang hutan lain seperti musang, beruang, monyet, landak dan sebagainya menyambut kemenangan sang kura-kura dengan tepukan gegap-gempita. Semuanya menggeleng-gelengkan kepada; tidak percaya pada kenyataan yang mereka hadapi.
Di saat makan malam dihidangkan lima belas menit kemudian, tibalah si kelinci sambil terpincang-pincang. Sepasang kelopak matanya bengkak-bengkak bekas sengatan semut.
“Aku belum kalah! Aku tak mungkin mengalah pada kura-kura! Ayo, besok kita bertanding lagi!” Si kelinci berteriak-teriak.
Sang musang mendekatinya dan sambil menepuk-nepuk pundaknya, ia berkata: “Hai, kelinci, kecepatan berlarimu tidak ditunjang perilaku yang tepat! Jika kau tidak mengubah perilakumu, kau akan kalah lagi, jangankan melawan kura-kura, melawan keong pun kau akan kalah!”
*) Erni Julia Kok


Mari Belajar dari Ulat

Mari Belajar dari Ulat

Bagi penggemar tanaman atau yang memiliki hobi berkebun, seringkali menemukan binatang yang menjengkelkan, dimana dedaunan muda yang tumbuh segar, menjadi tak beraturan dan bolong-bolong bahkan habis dan tinggal tangkainya saja. Ternyata setelah kita perhatikan ada hewan yang biasanya berwarna hijau, sehijau dedaunan untuk kamu flase, binatang tersebut adalah ulat.
Ulat adalah salah satu binatang yang sangat rakus dalam melahap hijaunya dedaunan tanaman yang kita sayangi. Rasa marah yang sangat bila kita jumpai tanaman kesayangan kita telah habis dedaunannya, bahkan hanya tinggal ranting-ranting saja. Sedih dan marah rasanya karena usaha kita terasa terampas begitu saja karena ulah sang ulat.
Dibalik kekesalan dan rasa marah, pernahkah kita mencoba untuk melihat atau sedikit tertegun mengernyitkan dahi atas ulah sang ulat tersebut atau sebaliknya kita membunuhnya untuk melampiaskan kekesalan hati, setega itukah?
Hasil yang diakibatkan oleh ulah sang ulat memang sangat mengesankan bila dibanding dengan wujud ulat yang lemah dan lunak tubuhnya.
Melihat dari akibat yang dihasilkan maka dapat kita katakan bahwa karakter ulat adalah pekerja keras dalam menggunduli dedaunan tanaman kita, seakan-akan mereka seperti dikejar deadline dan harus buru-buru untuk menyelesaikan. Hasilnya sangat mengesalkan sekali buat kita, yaitu tanaman yang gundul dalam waktu yang relatif singkat dan sekali lagi sungguh mengesankan.
Dalam menjalani misinya sang ulat tak membiarkan sedikit waktu terbuang. Sang ulat baru berhenti ketika sampai pada saat yang ditentukan dimana ia harus berhenti makan untuk menuju ke dalam kondisi puasa yang keras. Puasa yang sangat ketat tanpa makan tanpa minum sama sekali, dalam lingkupan kepompong yang sempit dan gelap.


Pada masa kepompong ini terjadi sebuah peristiwa yang sangat menakjubkan, masa dimana terjadi transformasi dari seekor ulat yang menjijikkan menjadi kupu-kupu yang elok dan indahnya dikagumi manusia. Sang kupu-kupu yang terlahir seakan-akan menjadi makhluk baru yang mempunyai perwujudan dan perilaku yang baru dan sama sekali berubah.
Haruskah kita membiarkan begitu saja sebuah peristiwa yang sangat indah dan mengesankan ini, tentu tidak. Sebenarnya kita patut malu bila melihat tabiat ulat yang pekerja keras. Ulat seakan tak mempunyai waktu yang terluang dan terbuang sedikitpun. Waktu yang tersedia adalah waktu yang sangat berharga bagi ulat untuk menggemukkan badan sebagai persiapan menuju sebuah keadaan dimana diperlukan energi yang besar yaitu masa kepompong, seakan dikejar- kejar oleh deadline sehingga sang ulat tak pernah beristirahat ejenakpun untuk terus melahap dedaunan.
Berpacunya sang ulat dengan waktu, ternyata disebabkan sang ulat telah mempunyai sebuah tujuan yang sangat jernih dan jelas yaitu mengumpulkan semua potensi yang ada untuk menghadapi satu saat yang sangat kritis yaitu masa kepompong, dimana pada masa kepompong tersebut dibutuhkan persiapan yang prima. Datangnya masa kepompong adalah sebuah keniscayaan, maka sang ulat mempersiapkan dengan kerja keras untuk menghadapinya.
Sebuah persiapan diri dengan kerja keras dilakukan juga pada hewan- hewan yang mengalami musim dingin.Dimana untuk menghadapi masa sulit di musim dingin, banyak hewan yang melakukan hibernasi selama musim dingin di gua-gua atau liang-liang, agar terhindar dari ganasnya musim dingin. Agar tubuh tetap hangat dan tersedianya energi maka sebelum menjelang musim dingin, hewan-hewan tersebut akan menumpuk lemak sebanyak-banyaknya di dalam tubuhnya, untuk dipakai sebagai bekal dalam tidur panjangnya.
Lalu coba kita berkaca dan mereview diri kita, adakah semangat yang luar biasa selayaknya ulat yang telah menggunduli dedaunan, bukankah sebuah masa depan dan tanggung jawab yang begitu beratnya harus kita pikul dan tunaikan. Namun kita terbuai dan masih sering suka bermain- main, selayaknya tertipu oleh permainan yang sangat melenakan.
Masa-masa dalam kehidupan kita sebagai individu atau kelompok, pasti tak akan pernah luput dari masa yang menyenangkan dan kemudian digantikan masa-masa yang sulit, itu adalah sebuah kepastian, sepasti bergantinya musim hujan disongsong oleh musim kemarau yang memayahkan.
Janganlah kita terlena bahkan kalah dengan hewan yang bernama ulat yang mempunyai etos kerja unggul dan memiliki pola pandang yang jauh ke depan yang meniti masa depan tersebut dengan kerja keras, karena masa depan dengan kesulitan dan cobaan itu pasti akan datang dan menghampiri kita, maka persiapan yang matang dan kerja keras yang mampu menolong kita dan bukan kemalasan dan menunda-nunda pekerjaan.
Have a positive day!
Salam,
Mohamad Yunus


Copyright © Spesial Unik. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design