ADSENSE HERE!
Saya pernah mendengar bahwa anak kecil itu egois. Kalau punya makanan maka dia akan makan sendiri dan nggak mau berbagi. Kalau dimintai, dia nggak akan menghiraukan dan terus menikmati saja apa yang dia makan. Tapi anak saya dari umur 1 tahun sudah belajar berbagi. Kalo lagi makan kue atau biscuit saat diminta maka dia akan langsung berbagi. Aku pikir karena aku adalah Papanya. Suatu kali pas minggu siang kami makan di Mal Artha Gading dan anak saya juga dibawa serta. Selesai makan, saya gendong anak saya untuk membeli roti kesukaannya. Ketika kembali, Mamanya minta si Darrel untuk menawarkan roti ke seorang anak yang sebaya dia yang duduk dekat meja kami.bersama orang tuanya. Spontan anak saya mengambil roti dan memberikan langsng rotinya ke anak tersebut. Saya ingat rotinya, Jesslyn Cakes.
Tindakan yang sederhana itu sebenarnya menunjukkan bahwa anak ini lebih dewasa dan dia langsung menunjukkan tindakan yang nyata. Dalam kepolosannya dia mampu memberi dan berbagi dengan orang lain. Waktu saya lihat muka anak saya ketika memberi, wajahnya sumringah. Ada keceriaan yang tulus, tanpa rekayasa atau pura-pura. Tindakannya memberi ini melampaui prediksi saya sebagai orang dewasa dan juga selaku Papanya.
Saya lalu memikirkan lebih jaunh tindakan anak saya ini. Pertama, pada dasarnya kita diberi kemampuan untuk memberi oleh Tuhan. Anak kecilpun sudah memiliki kemampuan memberi, jadi potensi untuk berbagi itu sudah ada sejak kecil. Tapi potensi dan kemampuan memberi itu itu bisa mengalami perubahan atau pergeseran. Manusia cenderung menggenggam erat dengan jari jemari apa yang yang dimilikinya. Menggenggam erat itu menggambarkan bahwa kita hanya ingin menguasai dengan kuat apa yang kita miliki dan tidak mudah untuk melepaskan atau membagikannya. Nggak cuma itu hatinya juga udah tertambat di situ. Dalam proses hiduplah kita belajar untuk membuka jari-jari tangan kita untuk melepaskan dan hati kita belajar untuk mengihklaskan..
Analogi ini menunjukkan bahwa tidak mudah bagi kita untuk melepaskan apa yang telah kita pegang, yang telah kita rengkuh dan tergenggam erat dalam genggaman kita. Faktor yang memperkuat genggaman jari-jemari itu adalah karena kita selalu melihat bahwa apa yang ada dalam genggaman kita adalah hasil jerih payah kita, hasil usaha kita sendiri. Apa yang kita pegang dan kita miliki adalah hak mutlak kita dan siapapun tida punya andil di dalamnya. Benar dong?
Benar. Tapi sebelum kita ‘menghasilkan sesuatu’, maka sebenarnya kita tidak memulai dari kekosongan atau kehampaan. Kita nggak memulai dari nol. Kita sebenarnya diberi pinjaman modal. Modal? Ya modal dasar alias modal usaha. Modal usaha dan berusaha itu mencakup tenaga, waktu, kesempatan, kesehatan, pikiran, skill, bakat, inspirasi, dan sebagainya. Coba saja kita punya bakat atau skill tapi nggak punya waktu atau kesempatan, tau-tau langsung ke akhirat, pasti kita tidak akan bisa berkarya lagi khan? Kalau begitu sebenarnya apa yang kita raih itu adalah ‘pemberian’ juga. Mobil mengkilap, harta berlimpah, simpanan (duit ya, jangan orang) yang berlimpah jelas adalah karunia-Nya. Walaupun kita mengklaim bahwa keberhasilan atau sukses itu adalah karena hasil usaha kita tetapi ada andil dari sang Pencipta baik langsung maupun tidak langsung. Seperti anak kecil yang mendapat kue yang enak di tangannya atau memegang duit di tangannya bukan karena dia sudah kerja keras tapi itu adalah pemberian Papa Mamanya. Kita yang udah dewasa, apa yang ada pada kita dan yang mau kita bagikan ke orang lain jelas adalah pemberian Tuhan.
Jadi poinnya yang kedua di sini adalah kalau kita bisa memberi karena Tuhan sudah memberi terlebih dahulu bagi kita. Mengapa kita bisa memberi, karena kita sudah menerima lebih dahulu berkat dan anugerah dari Tuhan. Berkat Tuhan itu sangat luar biasa sehingga setiap manusia menikmatinya walaupun orang tersebut tidak pernah memberi tapi Tuhan nggak hitung-hitungan dalam memberi berkat-Nya.
Ketiga, Pemberian yang dilakukan dengan ‘sungguh’ akan membawa sukacita. Anak saya waktu membagian roti atau kue, sorot matanya memancarkan kesenangan dan senyumanpun menghiasi wajahnya. Waktu dia melihat saya memakannya diapun penuh kegirangan dan saya pun jadi turut senang. Kendati makanan yang dibag hanya crackers, jagung rebus bukan hamburger atau pizza tapi kesenangan itu tak terkira. Sukacita karena pemberian ini akan muncul baik di pihak pemberi maupun penerima. Pemberian yang sejati membawa kesenangan yang sejati pula. Ini bertolak belakang dengan semangat hedonisme, paham yang mengajarkan untuk mengejar kesengan semata, kesenangan yang semu karena berpusat pada keegoisan dan pelampiasan hawa nafsu individu.
Keempat, pemberian itu hendaknya disertai dengan ketulusan. Sama seperti kepolosan seorang anak yang memberikan tanpa ada motif ada kepiting di balik bakwan, ada kepentingan, kawan…. Anak kecil memberikan dengan tulus dan apa adanya. Pemberian yang disertai ketulusan itu sungguh jauh lebih bernilai dan pemberian inilah yang ideal. Pemberian seperti inilah yang ‘suci’ artinya bersih dari segala maksud-maksud terselubung atau maksud untuk mencari keuntungan, nama, menarik pemberian yang lainnya, dan sebagainya. Pemberian yang terbaik dan disertai ketulusan adalah kombinasi pemberian yang sangat ideal tentunya. Dan ini bukan hal yang mustahil karena kita dimungkinkan untuk memberikan pemberian semacam ini. Tuhan terus menanti orang-orang yang memberi dengan style seperti ini. Pemberian inilah yang nantinya akan berbau harum baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan sesama.
ADSENSE HERE!
No comments:
Post a Comment
Komen dong, tapi yang sopan dan tidak spam ya