3G: Gemas, Geram,Ganyang (part 2)

ADSENSE HERE!

Ekspresi ganyang adalah kelanjutan dari gemas yang naik tingkat menjadi geram dan memuncak menjadi ganyang. Ganyang adalah tindakan eksekusi dari geram. Ganyang itu bagi saya adalah kata dan tindakan yang keras dan tajam. Ganyang itu kira-kira artinya libas, habisin, sikat, hajar, hancurkan dan sebagainya. Kalau diibaratkan istilah komputer berarti delete, atau cut. Kata ini lagi naik daun saat ini di negara kita, di media massa , internet, termasuk di situs-situs dan blog-blog termasuk blog ini juga. Saat ini ramai-ramai orang berteriak ganyang, entah karena mengatasnamakan nasionalisme, gengsi, emosi atau sekedar latah. Ganyang Malaysia eh muncul juga ungkapan pembalasan, Ganyang Indonesia. Akhirnya saling ganyang mengganyang.

Sebenarnya makna ganyang ini menarik untuk ditelusuri karena ternyata kata ini berasal dari bahasa Jawa yang ada hubungannya dengan makan yaitu memakan mentah-mentah, memamah, mengunyah (memakan sampai tak tersisakan barangkali). Arti keduanya adalah membinasakan, memusnahkan dan menghancurkan, mengikis habis termasuk juga mengalahkan. (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Keluaran Balai Pustaka hal 292 dan dibandingkan dengan kamus Melayu Online)

Kata ganyang ini juga menarik kalau diterapkan dalam konteks masa kini, misalnya :
Bagi seorang penggemar en pelahap makanan, ganyang itu singkatan dari garap sampai kenyang alias sikat sampai habis, sampai-sampai orang lain nggak kebagian (maruk juga nih).
Bagi seorang shopacolic, ganyang berarti borong sampai habis, lagi-lagi yang lain nggak kebagian.
Bagi seorang gamers action, ganyang itu berarti 'kill them all', seperti di Counter Strike.
Bagi seorang hacker, hajar web yang jadi sasaran atau dideface sehingga tampilannya jadi nggak keruan.
Bagi seorang kleptokrat, ganyang berarti makan abis semua uang yang ada termasuk uang rakyat dan uang pemerintah.

Kalau mau diperluas, masih banyak sih. Nah sebelum ganyang-mengganyang dengan tetangga sebelah, pertanyaan yang patut kita renungkan adalah benarkah konsep dan tindakan ganyang jaman dulu itu tepat untuk konteks masa kini? Ingat, kata itu digunakan Soekarno dalam konteks zaman dulu yang jelas berbeda dengan konteks sekarang. Kalau mau pakai kata ganyang, apanya yang harus diganyang? Ganyang seperti apa? Kita berhak mengekspresikan kemarahan, kegeraman atau keganyangan kita tapi perlu dilihat dulu caranya. Apakah pantas, tepat dan sudah sesuai dengan koridor ada? Maksudnya apakah juga masih mencerminkan perilaku kita sebagai bangsa yang menjunjung keberadaban, kesopanan dan kesantunan? Ganyang, lihat masalahnya apa dulu. Kalau masalahnya adalah tarian pendet, bukan masalah pelanggaran kedaulatan atau penyerobotan wilayah, berarti harus disikapi dengan cara yang berbeda. Nggak bisa dipukul rata. Nggak asal main ganyang. Dan kalau mau ganyang pihak luar, coba simak dulu kisah berikut yang saya kutip dari Teguh Timur:

“"Sum Kuning adalah kisah nyata. Ia disebutkan sebagai seorang gadis penjual telur yang jelita dari Godean, Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1970, Sum Kuning diperkosa beramai-ramai oleh anak seorang pejabat dan teman-temannya. Dia sempat disuap agar tak melaporkan pemerkosaan itu. Ketika ia mengadukan nasib sial yang diterimanya, para pelaku menyerang balik dan menuduh Sum Kuning memberi keterangan palsu. Sum Kuning yang malang itu pun dibawa ke pengadilan. Untunglah, sang hakim tak menjatuhkan hukuman pada Sum Kuning. Tahun 1978 kisah Sum Kuning diangkat ke layar lebar. Disutradarai Frangky Rorimpandey dan dibintangi Yatty Surachman.

Ya, para TKI ini diperkosa beramai-ramai oleh pemerintah Indonesia berikut aparaturnya, pemerintah Malaysia berikut aparaturnya, PJTKI, rekanan PJTKI di Malaysia, pengusaha perkebunan di Malaysia, dan seterusnya. Ini adalah peristiwa sum kuning paling massif yang terjadi di muka bumi. Tidak di tempat gelap, tetapi di pertontonkan di atas panggung, dan kita semua bisa menyaksikannya. Gila." “

Ternyata dari kisah ini ada oknum dalam bangsa kita yang justru bertindak semena-mena terhadap bangsanya sendiri. Kalau mau bicara ganyang, seharusnya oknum-oknum dalam kisah diatas juga patut diganyang! Dan mereka bukan orang asing, tapi bangsa sendiri. Ingat, kisah ini bukan cuma bagian dari kisah masa lalu. Sekarangpun ada oknum-oknum orang kita sendiri yang tega menjual wanita-wanita ke negeri tetangga bahkan ke Timur Tengah. Mereka menjanjikan para calon TKI untuk dipekerjakan di restoran tapi nyatanya begitu sampai di negara tujuan malah dipekerjakan sebagai pelacur. Ada juga banyak kisah pilu calon TKI yang sudah menyetor uang untuk biaya keberangkatan, pengurusan paspor dan visa dengan sebelumnya menjual sawah atau rumah, ngutang sana sini tapi ternyata kena tipu. Uangnya diembat sama pengurusnya.Setelah bekerja mati-matian di luar negeri masih haru melewati episode penderitaan. Kita sering mendengar kisah pilu TKI yang baru pulang dari luar negeri tetapi saat tiba di airport kebanggaan kita Soekarno Hatta justru diperas habis-habisan bahkan ada yang kena tipu, pulang dengan tangan hampa. Kalau mau ganyang jangan cuma ke orang asing.

Ganyang dalam arti yang saya mau pakai di sini bukan ganyang secara fisik atau dengan cara kekerasan alis anarkis. Ganyang di sini adalah mengganyang ( mengalahkan dan mengikis habis ) segala bentuk kelaliman dan kejahatan yang yang sudah berakar dan membudaya di negara kita. Yang perlu kita ganyang adalah mentalitas korupsi dan prakteknya yang merajalela. Yang perlu diganyang adalah sikap dan mentalitas bangsa kita yang jelek dan negatif. Yang perlu kita ganyang adalah sikap aji mumpung, tidak profesional, sikap kemalasan, berbelit-belit, dan ketidakpedulian di negara kita. Perhatikan dua pandangan dari Koentjaraningrat dan Muchtar Lubis yang hampir senada mengenai manusia Indonesia :

Muchtar Lubis (2008: 18-36) juga mendaftar mentalitas negatif orang Indonesia lainnya seperti sifat munafik (hipokrit), tidak bertanggungjawab, berjiwa feodal, percaya pada tahayul, berorientasi ke masa lampau, dan lain-lain.

Koentjaraningrat (1987: 45) mendaftar kelemahan mentalitas orang Indonesia seperti sifat yang meremehkan mutu; suka menerabas (jalan pintas); tidak percaya pada diri sendiri; tidak berdisiplin murni; dan suka mengabaikan tanggungjawab. tidak bertanggungjawab.


(Sumber : Suara Muhammadiyah)

Musuh yang sesungguhnya bukan bangsa lain, bangsa Anu atau bangsa Ana, tapi bangsa Ane alias bangsa kita sendiri.....:) Musuh laten dalam bangsa kita sebenarnya adalah diri kita sendiri yang berwujud dalam mentalitas dan sikap yang negatif dan menghambat untuk maju. Musuh itu adalah sikap mementingkan diri, bagaimana mencari kedudukan yang enak atau kursi empuk dalam pemerintahan dengan cara yang tidak etis. Musuh itu adalah sikap yang hanya mencari keuntungan di tengah penderitaan rakyat. Musuh itu adalah menghalalkan segala cara agar tetap mempertahankan kedudukan dan jabatan. Musuh itu adalah mentalitas bagaimana meraup keuntungan sepuas-puasnya selagi berkuasa. Musuh itu adalah janji-janji manis politik yang nggak terealisir. Kalau mau gemas, geram, dan ganyang dengan hal ini, silakan.

Yang menggemaskan dan membuat geram adalah kalau perilaku dan mentalitas seperti ini dilestarikan atau dipelihara. Yang bikin gemas dan geram adalah kalau tidak ada perubahan dan perbaikan. Mungkin terhadap bangsa sendiri, gemas sudah nggak cukup, geram juga nggak ngefek tapi perlu ganyang. Nah kembali lagi, ganyang di sini dengan sikap yang elegan. Jangan mengarah ke anarkis dan makis-makis (maki-maki maksudnya).
ADSENSE HERE!

No comments:

Post a Comment

Komen dong, tapi yang sopan dan tidak spam ya

Copyright © Spesial Unik. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design