ADSENSE HERE!
Dalam tradisi Amerika, tiap Kamis minggu keempat bulan November mereka mengadakan Thanksgiving Day. Kalau di Minahasa atau Manado dikenal dengan "Pengucapan" atau Hari Pengucapan Syukur. Dalam kedua tradisi itu ada kemiripan yaitu bersyukur yang diperingati dengan ibadah dan tidak ketinggalan juga yaitu makan-makannya :).
Bersyukur jelas bukan hanya pada moment Thanksgiving atau Pengucapan, seperti kata teman saya,”Setiap hari seharusnya menjadi moment thanksgiving”. Kita bersyukur bukan karena dihidangkan makanan yang spesial atau tersaji menu istimewa seperti turkey, tinoransak atau winiyo'o. Bersyukur juga bukan hanya hal yang positif seperti yang diajarkan para motivator tetapi bersyukur seharusnya menjadi gaya hidup (lifestyle) orang percaya.
Kita memiliki berbagai motivasi, cara atau ekpresi dalam mengungkapkan syukur. Saya akan mengulas di sini ada lima tingkatan dalam bersyukur.
Pertama, bersyukur dengan membandingkan diri dengan orang lain. Bandingkan ekspresi syukur seorang Farisi,“Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cuka ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari penghasilanku“. (Luk 18:11-12). Apakah ini syukur atau arogansi?
Ada seorang pendeta yang pernah berdoa seperti ini: "Tuhan, kami sangat bersyukur, jikalau di tengah-tengah kondisi bangsa kami dan dunia yang dihantam oleh berbagai bencana alam, kami masih memiliki tempat untuk tinggal, berteduh, dan gedung gereja ini untuk beribadah. Kami bersyukur bahwa Engkau menyediakan makanan kami sehari-hari di tengah-tengah banyak orang yang kelaparan di negeri ini. Kami memuji-Mu atas kasih setia-Mu kepada kami dan kami sangat bersyukur, Tuhan." (http://andreaspilipus.blogspot.com/2010/01/egoisme-berkedok-ucapan-syukur.html).
Dari kedua contoh ucapan syukur di atas, pertanyaannya adalah apakah ucapan syukur kita itu hanya bisa lahir dengan membandingkan diri kita dengan orang yang kurang beruntung dari kita? Apakah syukur kita baru muncul setelah menyaksikan orang yang tidak punya apa-aapa, orang yang kekurangan dan kurang lengkap anggota tubuhnya baru membuat kita bersyukur? Apakah syukur kita hanya muncul pada saat kita merasa lebih baik dari orang lain? Pengucapan syukur jenis ini jelas tidak memadai dan bahkan mengarah kepada arogansi.
Kedua, bersyukur karena kita bergerak dari sisi yang negatif ke sisi yang positif. Dari sisi kelam masalah atau penderitaan lalu mendapatkan pembebasan atau kelepasan. Seperti kisah orang kusta yang bersyukur kepada Tuhan. Tadinya dia sudah tidak memiliki pengharapan dan kondisinya amat memprihatinkan. Perjumpaannya dengan Yesus akhirnya membuatnya mengalami kesembuhan. Responnya adalah dia datang secara langsung kepada Tuhan Yesus untuk mengucap syukur. Hanya, dan ini ironisnya : dari kesepuluh orang yang disembuhkan Tuhan, hanya satu yang kembali untuk mengucap syukur.
Syukur seperti ini sering kali kita lakukan saat kita mengalami jawaban Tuhan atas masalah berat, penderitaan atau penyakit yang datang melanda. Pemulihan dan kesembuhan yang kita alami mendorong dan menggerakkan kita untuk bersyukur kepada Tuhan. Tapi setelah keadaan kembali seperti biasa, setelah semuanya kembali normal maka syukur itu mulai terlupakan. Kita mulai lupa mengucap syukur. Apakah syukur hanya muncul kalau ada hal-hal yang sifatnya luar biasa? Apakah kita bersyukur hanya kalau kita mengalami hal-hal yang sifatnya sensasional? Ketika keadaan kembali menjadi biasa, mampukah kita untuk tetap bersyukur ?
Ketiga, bersyukur dalam sisi yang positif. Di sini kita bersyukur karena berkat dan kelimpahan Tuhan yang nyata baik jasmani dan rohani. Misalnya kita mengalami pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan kita, kesehatan yang baik tanpa kurang suatu apapun menjadikan kita bersyukur. Kelancaran dalam usaha, rumah kita tidak terkena banjir membuat kita bersyukur. Saat kita mengalami perlindungan Tuhan dalam perjalanan, kita bersyukur. Jadi syukur yang kita panjatkan adalah karena segala hal baik dan positif yang kita terima setiap hari.
Bersyukur dalam level ini adalah melihat hal-hal yang baik dan yang menyenangkan yang kita nikmati dalam hidup. Melihat hal-hal yang mendatangkan sukacita, berkat dan kesejahteraan dan kelimpahan dalam hidup. Namun, apakah ini esensi yang sesungguhnya dalam bersyukur? Apakah bersyukur hanya untuk hal-hal yang baik saja? Tuhan ingin kita melangkah dalam level yang lebih tinggi lagi.
Keempat, kita bersyukur dalam segala hal. Bersyukur dalam segala keadaan. Ini level bersyukur yang lebih tinggi dan dalam serta teramat sulit. Ucapan syukur ini nampak dalam ekspresi Habakuk,“ Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, namun aku akan bersorak sorak di dalam Allah yang menyelamatkanku". Inilah syukur yang melampaui hal-hal yang baik, positif dan nyaman dalam hidup. Inilah ekspresi orang yang mampu masuk dalam gerbang Tuhan dengan bersyukur kendati maslah terus membayangi, kesulitan terus menghimpit dan penderitaan tak kunjung mendera, dia tetap mampu bersyukur.
Matthew Henry, seorang hamba Tuhan dari Inggris pernah mengungkapkan syukurnya setelah mengalami perampokan diperjalanan. Ia berkata, “Saya berterima kasih bahwa saya belum pernah dirampok sebelum ini; dan walaupun ia mengambil dompet saya, ia tidak membunuh saya; walaupun ia mengambil semuanya, itu tidak terlalu banyak; dan akhirnya untung saya yang dirampok bukan saya yang merampok.” Ia boleh jadi berkata juga, “Terima kasih untuk kesusahan ini!”.
Bersyukur dalam segala hal bukanlah hal yang mudah. Ketika Paulus berkata dalam 1 Tim 5:18,“Bersyukurlah dalam segala hal,“ Paulus tahu apa artinya hal ini. Dialah salah seorang rasul yang mengalami banyak pengalaman yang tidak mengenakkan: dipenjara, mengalami karam kapal, dilempari batu, dicambuk berkali-kali dan sebagainya dan dalam mkeadaan yang sulit seperti itu paulus masih tetap bersyukur. Bersyukur dalam segala hal nampaknya sulit tapi tidak mustahil. Bersyukurlah dalam segala hal sebab itulah yang dikehendaki Allah dalam Kristus Yesus bagi kamu.
Kelima, bersyukur karena mengingat siapakah Tuhan dan apa yang Tuhan telah lakukan bagi kita. Dengan kata lain bersyukur bukan karena pemberiannya tetapi kepada Pemberi, bersyukur bukan karena berkatnya tapi kepada Sang Sumber Berkat itu sendiri. Contoh yang jelas adalah Hana. Hana berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan untuk memohon dan akhirnya Tuhan menjawab doa Hana dan mengaruniakannya seorang anak. Respon Hana sangatlah indah. Hana dalam doa syukurnya bukanlah berfokus pada bayi yang baru dimilikinya. Bisa saja dia berdoa,"Tuhan terima kasih dan saya bersyukur Engkau sudah mengaruniakan anak yang lucu, montok dan sehat. Terima kasih untuk anak ini, ini adalah hadiah terindah.dalam hidup saya". Sebaliknya Hana dalam syukurnya berfokus pada Tuhan dan pada kebaikan dan kekuasaan Tuhan.
Dalam doanya dia mengatakan dalam 1 Samuel 1:1-2 „"Hatiku bersukaria karena TUHAN, tanduk kekuatanku ditinggikan oleh TUHAN; mulutku mencemoohkan musuhku, sebab aku bersukacita karena pertolongan-Mu.
Tidak ada yang kudus seperti TUHAN, sebab tidak ada yang lain kecuali Engkau dan tidak ada gunung batu seperti Allah kita.“
Dalam doa selanjutanya, hana tidak henti-hentinya bersyukur untuk kuasa dan kebesaran Tuhan : „TUHAN mematikan dan menghidupkan, Ia menurunkan ke dalam dunia orang mati dan mengangkat dari sana.TUHAN membuat miskin dan membuat kaya; Ia merendahkan, dan meninggikan juga. Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu, dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsawan, dan membuat dia memiliki kursi kehormatan. Sebab TUHAN mempunyai alas bumi; dan di atasnya Ia menaruh daratan. (ayat 6-8).
NIV menggambarkan bahwa fokus utama doa syukur Hana bukan pada bayinya tetapi kepada Tuhan yang telah menjawab doanya. Menarik, bukan? Doa syukurnya sesungguhnya lahir dari hatinya yang mengasihi Tuhan dan hal itu menempatkan Tuhan sebgai sentral ucapan syukurnya. Bagaimana dengan kita? Tuhan pasti mendengar dan menjawab doa-doa kita, tetapi apakah Dia akan mendapati kita lebih mengasihi Dia ketimbang pemberian yang kita terima melalui doa kita?
Syukur akan bermakna kalau didasari dari hati yang mengingat siapakah Tuhan dan apa yang telah dilakukannya bagi kita. Syukur akan bermakna kalau kita juga menyadari siapakah kita ini, yang sesungguhnya tidak layak menerima anugerah Tuhan. Kesadaran akan hal ini akan membuat hati kita melimpah dengan syukur kepada Tuhan.
Bagaimana dengan level syukur kita selama ini? Apakah masih dalam level yang terendah? Bersyukur tetapi sesungguhnya bukan bersyukur? Bersyukur hanya karena ha-hal baik? Bersyukur hanya karena mendapat jawaban-jawaban yang kita inginkan? Mari kita melangkah ke tingkat yang lebih tinggi : Bersyukur dalam segala keadaan dan bersyukur karena kita mengingat siapakah Tuhan itu dan apakah yang Tuhan telah lakukan bagi kita.
Soli Deo Gloria
Untuk poin 2,3,4, dan 5 dikutip dari 5 Levels of Thanksfulness. by Mr. Lyle Welty
ADSENSE HERE!
No comments:
Post a Comment
Komen dong, tapi yang sopan dan tidak spam ya