Showing posts with label Refleksi Tou Minahasa. Show all posts
Showing posts with label Refleksi Tou Minahasa. Show all posts

10 Ekspresi Budaya Kebanggaan Tou Minahasa

10 Ekspresi Budaya Kebanggaan Tou Minahasa
Zaman digital ini membuat manusia berpacu, berusaha meng-update perkembangan terbaru dalam berbagai hal termasuk dalam gaya hidup tidak terkecuali orang Minahasa. Secara natur tou Minahasa amat terbuka dengan perubahan dan akan terus mengupdate perkembangan gaya hidup modern. Di satu sisi memiliki nilai positif tetapi dampak lainnya adalah dengan derasnya gaya hidup modern membuat ‘budaya’ Minahasa mulai terlupakan. Apalagi kerap anak muda menganggap yang namanya ‘budaya’ itu kuno alias ‘ndeso’ atau hanya milik tua-tua. Ironisnya banyak anak muda yang mengagung-agungkan budaya luar sementar budayanya sendiri tidak dipedulikan. Seakan budaya itu milik masa lalu dan yang lalu biarlah berlalu!

 Ada ungkapan yang menarik,”A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots.” Orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang masa lalu mereka, asal muasal dan budayanya ibarat pohon yang tanpa akar. Ibaratnya orang yang mengalami krisis identitas. Kalau seseorang itu mengaku tou Minahasa maka dia akan berusaha mengenal dan menghargai budayanya tersebut. Karena budaya itu yang juga turut membentuk jati diri alias identitasnya sebagai tou Minahasa sejati. Orang luar saja termasuk orang Barat mengakui kelebihan dan keunikan budaya kita, malah bule-bule atau londo-londo itu begitu antusias mengkaji budaya kita. Lah masak tou Minahasa malah minder atau malu atau tidak tertarik sama sekali sama budaya sendiri. Kan aneh.

Memang harus diakui ada beberapa anggapan miring mengenai budaya Minahasa. Pertama ada anggapan bahwa seolah-olah budaya Minahasa itu tidak ada yang asli alias budaya impor karena pengaruh budaya Eropa semuanya. Kedua, ada anggapan bahwa budaya itu pasti terkait erat dengan okultisme sehingga budaya itu tidak patut dipertahankan. Ketiga, ada budaya-budaya yang menjadi sorotan negatif misalnya baku cungkel atau bagate ato bafoya-foya. Untuk statemen yang pertama, bahwa seolah-olah budaya Minahasa itu tidak ada yang orisinil sebenarnya tidak mendasar. Memang ada pengaruh budaya Barat seperti katrili tapi ada budaya-budaya asli Minahasa yang bisa 'survive' alias bertahan semenjak kedatangan bangsa asing. Berarti budaya itu sudah teruji oleh zaman dan ini patut dibanggakan. Kedua, budaya Minahasa tidak semuanya terkait okultisme. Ibaratnya jangan dipukul rata, karena di budaya daerah lain juga ada. Banyak budaya Minahasa yang positif dan tidak ada konten atau relasi dengan okultisme. Budaya yang lain di luar Minahasa malah lebih banyak konten mistik dan okultismenya.Ketiga, dalam berbagai budaya di dunia pasti ada juga budaya atau kebiasaan tertentu yang negatif, tapi yang pasti tou Minahasa sejati tidak akan setuju dengan budaya seperti itu. Makanya menjadi tugas tou Minahasa untuk mengeliminasi kebiasaan negatif itu dan sebaliknya berusaha mengembangkan dan melestarikan budaya yang positif.

Minahasa sesungguhnya memiliki khazanah budaya yang unik, menarik dan patut dibanggakan serta bisa diekspos ke tingkat internasional. Budaya Minahasa jangan hanya dipandang sempit dalam bentuk yang sifatnya pertunjukkan, seni atau entertaintment. Ada budaya yang tidak terlihat tapi sebenarnya sangat vital dan fundamental dan itulah yang menjiwai tou Minahasa sejati! Budaya yang tidak kelihatan itu adalah semacam 'way of life' atau bahasa antiknya falsafah hidup atau mentalitas yang menyatu dalam ekspresi budaya. Budaya semacam ini tidak terikat oleh tempat atau kondisi sehingga ketika orang Minahasa di perantauan maka budaya hidup seperti ini bisa terus dibawa, dipertahankan, diekspresikan. Simak beberapa ekspresi budaya Minahasa yang patut kita banggakan:

Pertama, budaya Mapalus. Mapalus adalah suatu ungkapan yang bermakna bekerja sama untuk mewujudkan sesuatu yang baik. Berasal dari istilah bekerja di kebun (ma’ando) di mana para pekerja rame-rame mengerahkan tenaga (palus) untuk menggarap kebun sehingga bisa menghasilkan sesuatu. Mapalus dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki semangat kerja keras dan spiritnya adalah demi untuk membantu orang lain. Itu sebabnya spirit Mapalus dipakai dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Budaya Mapalus ini bahkan diklaim memiliki kelebihan. Menurut buku The Mapalus Way, mapalus sebagai sebuah sistem kerja memiliki nilai-nilai etos seperti, etos resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong royong, good leadership, disiplin, transparansi, kesetaraan dan trust.[1] Di tengah tantangan dunia yang semakin individualistis dan egois yang tak akan terelakkan mempengaruhi setiap orang Minahasa baik di daerah maupun di luar daerah maka spirit Mapalus ini kiranya akan tetap mempersatukan dan mengeratkan persaudaraan tou Minahasa.

Kedua : I Yayat U Santi! Terus terang cukup sering baca kalimat ini tapi nggak tau artinya. Bersyukur saat mau nulis tentang artikel ini ada Mr Google yang menampilkan referensi tentang arti kata ini. “I Yayat U Santi! “, adalah ekspresi yang dilontarkan oleh 'leader' dari para petarung atau prajurit yang menarikan tarian perang yaitu tari Kabasaran. Ekspresi itu bermakna secara literal “Angkat dan acungkan senjatamu!”.[2] Ini diungkapkan pastinya dalam konteks perang bukan hanya sebagai perintah atau komando tetapi juga untuk mengobarkan semangat untuk menghadapi musuh, yang disambut dengan teriakan “Yohooi!” oleh para prajurit. Ungkapan ini untuk menghalau kegalauan dan kegentaran menghadapi lawan. Makna ungkapan itu kalau ditarik pada jaman sekarang berarti spirit atau semangat untuk berjuang menghadapi tantangan, semangat untuk maju dengan penuh keberanian! Dengan kata lain ini adalah suatu prinsip untuk tegar, maju menghadapi rintangan dan mengalahkan tantangan. Lawan atau tantangan saat ini adalah kebodohan, kemabukan, korupsi, kemalasan yang bisa melanda insan Minahasa. Spirit ini harusnya dimiliki anak-anak muda masa kini untuk berani menghadapi realita dan tantangan hidup dengan penuh keberanian dan ketegaran, bukannya melarikan diri dari realita dan galau dengan ngefly atau teler! 

Ketiga, Pengucapan! Walaupun kata ini diserap dari bahasa Malayu atau Indonesia tapi spirit ini begitu kental dalam budaya Minahasa. Yang saya maksudkan bukan hanya acara sekali setahun yang dirayakan waktu selesai panen tetapi semangat ini dapat dilihat dalam respon orang Minahasa sehari-hari. Orang Minahasa punya suatu tradisi untuk mengadakan syukuran mulai dari 'rumambak' alias nae rumah baru, baptisan, hari ulang tahun, ulang tahun perkawinan dan lain sebagainya. Spirit yang ada dalam diri orang Minahasa adalah bahwa hidup itu harus dirayakan dengan sesama yang didasari dalam pengakuan akan berkat dan anugerah Tuhan. Ekpresi pengucapan itu sendiri adalah suatu selebrasi hidup, suatu perayaan syukur yang benar-benar menjiwai orang Minahasa. Tidak heran dalam acara kedukaan ada acara “Rumame” atau”Brantang” di mana orang-orang membawa makanan untuk dinikmati bersama keluarga yang berduka. Keluarga yang berdukapun akan menyediakan tempat dan so pasti makanan untuk orang-orang dalam jumlah yang mampu disediakan. Inilah spirit ucapan syukur. Dalam suka maupun duka orang Minahasa bersyukur. Puncak ucapan syukur tradisional itu adalah “Pengucapan” yang di adakan pertengahan tahun. Kegiatan ini menjadi kegembiraan dan sukacita yang dimulai dari mempersembahkan hasil panen di Gereja dan setelahnya beralih pada acara di rumah-rumah yaitu dengan bersantap ria makanan khas Minahasa!

Keempat, tarian : Tari Maengket. Tarian maengket adalah tarian yang berpadu dengan musik dan nyanyian bersama. Sejumlah pengamat kesenian bahkan melihat maengket sebagai satu bentuk khas sendratari berpadu opera.[3] Tari Maengket adalah tarian khas Minahasa yang terkait dengan pertanian. Tarian ini jelas merupakan ekspresi syukur kepada Tuhan dan dilakukan pada saat panen sedang berlangsung. Ekspresi tarian yang dilakukan sebagai ungkapan syukur atas kelimpahan panen ini disebut Maowey yang dijadikan babak pertama dalam tarian Maengket. Babak keduanya adalah Marambak yaitu tarian dalam rangka pesta syukur atas rumah baru sekalian menguji kekuatan rumah baru tersebut. Rumambak juga merupakan spirit gotong royong dalam rangka membangun rumah baru tersebut. Sedangkan Lalayaan adalah tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa yang tujuannya dulu mencari jodoh. Tari Maengket bahkan menjadi inspirasi grup pop-rock legendaris Indonesia, Koes Plus untuk menciptakan lagu berjudul “Mak Engket”. Lagu ciptaan Yok Koeswoyo ini dimuat dalam album Koes Plus Pop Melayu Volume 2 pada tahun 1974.[4]

Kabasaran adalah tarian khas para satria Minahasa dalam peperangan. Ciri khas tarian ini adalah para penari mengenakan kostum perang serba merah, mengangkat senjata parang atau tombak sambil melotot dan dengan wajah sangar membuat tarian ini nampak macho, kontras dengan sebagian besar tarian di daerah lain yang lemah nan gemulai. Kabasaran berasal dari kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang. Pengaruh bahasa melayu Manado lalu mengubah penyebutan menjadi “Kabasaran”, yang tidak memiliki hubungan dengan kata “besar”.[5] Tarian pada akhirnya di zaman Belanda tarian ini dipakai untuk menyambut pembesar atau tamu agung dan juga mengiringi kematian petinggi-petinggi adat. Ada yang menarik dari tari Kabasaran yaitu Kabasaran ini tak selamanya ditampilkan dengan garang karena ada babak selanjutnya para satria berekspresi ceria yaitu di babak Lalaya’an.

Kelima, kerajinan : Kain Tenun Minahasa. Tenun Minahasa sempat menghilang kurang lebih selama 200 tahun. Makanya kalau kain tenun Minahasa bisa muncul saat ini patut disyukuri dan harus dijaga jangan sampai hilang lagi. Adalah Thomas Sigar, disainer berdarah Manado yang mencoba mengembalikan kain tenun tradisional Minahasa ini. Kain tenun Minahasa ini ternyata menarik perhatian para selebritis yang juga ikut memakainya.[6] (Jadi Anda harus bilang “Wow”, dong!  Tenun Minahasa memiliki keistimewaan karena “Tenun Minahasa”, memiliki motif yaitu Patola. Motifnya berbentuk geometris menyerupai sirip ular sawah yang dalam istilah Minahasa disebut patola. Pertanyaaannya, bisakah kain itu diproduksi massal dengan motif yang bisa dikembangkan tidak hanya ular Patola tapi mungkin saja motif Manguni, cengkih, Tarsius atau cakalang dengan harga yang terjangkau? Kalau batik saja bisa diproduksi massal dan dikenal sampai ke luar negeri, seharusnya perlu dipikirkan bagaimana bisa membuat produk ini dikenal dan dipakai oleh masyarakat dari semua kalangan di Minahasa. Selain kain bermotif patola, ada juga motif kain tenun yang kasar yang dipakai oleh pasukan Kabasaran.

Keenam, seni bangunan : wale Minahasa. Rumah adat Minahasa yang disebut wale atau bale berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu. Konstruksi rumah panggung ini memiliki latar belakang yang unik yaitu terdapat dua tangga di depan rumah dan tiang penyangga berjumlah 16 atau 18. Kelebihan dari rumah panggung Minahasa adalah sudah terbukti tahan gempa dan gampang sekali untuk bongkar pasangnya sehingga kalau dipindah-pindah sangat praktis. Ciri khas dari rumah adat Minahasa juga adalah warna kayunya dibiarkan secara alami jadi tidak dicat disentuh cat baik luar maupun dalam, jadi secara ekologi sangat ramah lingkungan. Kendati demikian rumah adat Minahasa laku diekspor ke manca negara, sampai ke Jepang dan Afrika!

Ketujuh, kuliner Minahasa: Masakan Minahasa terkenal cita rasanya yang super pedes dan eksotik. Orang Minahasa suka makan daging tapi juga diimbangi dengan sea food alias ikan serta sayur-sayuran yang menarik selera. Masakan khas Minahasa terutama daging memiliki keunikan baik jenisnya maupun cara  pengolahannya.  Selain itu masakan daging memiliki julukan khusus misalnya masakan daging anjing yaitu RW (Rintek Wu'uk alias bulu halus), wiyo'o itu daging babi hutan, kawok yaitu si Mickey Mouse alias tikus dan paniki yaitu Batman eh si kelelawar. Rasanya kalo sudah diolah oleh para koki Minahasa benar-benar lekker van houten alias enak gila :). Cara masaknya ada yang dimasukin di bambu dan dipanggang, kalau daging babi jadilah tinoransak. Daging babi yang dipanggang begitu saja jadilah ra’gey. Hm laper kalo membahas ini. Selain daging, masakan Minahasa ada yang terbuat dari batang pisang dan bambu muda. Belum lagi yang paling terkenal dan bisa dimakan semua orang yaitu bubur Manado. Makanan ringan juga sangat terkenal yaitu nasi jaha yang dipanggang di bambu, panada, cucur, bagea, halua dan lain-lain. Lalu ada gohu yang dibuat dari papaya yang diduetkan dengan kuah yang pedes. Esnya pake es brenebon, hm mantap kwa.

Kedelapan, musik : Kolintang dan Musik Bambu. Kedua jenis musik ini sangat atraktif dan menghasilkan suara musik yang khas. Kolintang yang berbahan dasar kayu dan musik bambu yang terbuat dari bambu tetapi sekarang ini dipadukan dengan alat music dari logam sehingga menjelma menjadi musik bambu klarinet. Kedua alat musik ini menjadi andalan Tou Minahasa dan sering ditampilkan dalam berbagai event. Kolintang dulunya juga sempat menghilang dari peredaran budaya Minahasa tapi akhirnya bisa dikembangkan lagi dan menjadi andalan budaya dalam bidang musik. Darimana asal nama musik kolintang? Pakar music kolintang Petrus Kaseke menyatakan bahwa nama kolintang berasal dari bunyi kayu yang dipukul menghasilkan suara “tong ting tang.”[7]  Khusus untuk musik bambu klarinet, musik ini juga sudah cukup dikenal di manca negara. Bahkan salah seorang utusan dari Bill Clinton, mantan presiden USA pernah memesan khusus saksofon bambu khas Minahasa ini karena beliau sangat mahir memainkan saksofon.

Kesembilan, peninggalan arkeologi. Waruga merupakan kubur batu yang dipakai ratusan tahun yang lalu. Waruga yang artinya wale (rumah) dan ruga (raga) orang yang sudah meninggal terbuat dari batu besar yang dipahat. Keunikan waruga adalah terletak pada ukiran-ukiran yang bermotif tumbuhan, hewan atau bentuk geometri tradisonal lainnya. Benda-benda kuno lainnya seperti menhir dapat ditemukan di beberapa daerah di Minahasa. Menhir atau tugu batu yang memiliki sebutan pasak wanua atau batu baranak meruapakan suatu tanda pendirian suatu kampung. Selain itu ada juga peninggalan yaitu watu Pinawetengan, watu Rerumeran, watu Tiwa, watu Tumotowa. Pada batu-batu itu terdapat huruf-huruf kuno yang dikenal sebagai aksara Malesung yang diperkirakan umurnya lebih tua dari huruf Pallawa. Menurut David Lumoindong, aksara di watu Pinawetengan merupakan suatu deklarasi perdamaian, kebebasan, pembagian wilayah dan pemerintahan yang kuno. Ini berarti tou Minahasa zaman dulu udah mengenal yang namanya hidup berdemokrasi dan hak kebebasan yang termasuk paling tua di Nusantara (wikipedia).

Kesepuluh, tradisi hari besar. Selain Pengucapan, orang Minahasa yang umumnya beragama Kristen mengenal tradisi hari raya Kristen yang unik. Misalnya dalam memyambut hari besar seperti Natal dan Tahun Baru maka ada suatu tradisi yang berbeda dibanding tempat lain. Misalnya ada pemasangan lampion Natal serta pohon Natal jauh sebelum bulan Desember. Ketika masuk bulan ber-ber, September, Oktober, November maka sudah mulai diperdengarkan lagu-lagu Natal dan orang-orang sibuk membuat kue Natal. Ketika Natal dirayakan tidak hanya pada tanggal 25 tapi juga dibuatkan Natal kedua, yang kiranya hanya ditemui di Minahasa! Sama halnya dengan Tahun Baru juga ada Tahun Baru kedua serta Kuncikan yaitu minggu terakhir bulan Januari sebagai penutup tahun baru. Maka orang Minahasa di perantauan pasti tidak akan kehilangan momen langka seperti ini, sehingga Natal menjadi ajang pulang kampung sekalian berlibur seperti tradisi mudik pada Lebaran di Jawa. Pada hari Paskah juga sering diadakan pawai Paskah dan pemasangan lampion juga yang berbentuk salib.

Mengintegrasikan Budaya Dalam Pendidikan

Tak dikenal maka tak sayang, demikian juga pepatah ini berlaku dalam hal budaya. Generasi muda seringkali minim dalam pengetahuan tentang budaya karena itu menurut saya sekolah adalah tempat yang tepat untuk memperkenalkan budaya. Di sekolah kan ada muatan lokal dan seharusnya guru bisa memaksimalkan jam muatan lokal itu secara kreatif dan berkualitas. Jangan sampai anak-anak sekolah sekarang buta dengan budayanya sendiri bukan cuma dalam berbahasa 'tana’, tarian tetapi nilai-nilai luhur atau way of life dari orang Minahasa itu seharusnya diajarkan dan dikenalkan kepada generasi muda sehingga mereka tidak akan lupa identitas atau jati dirinya. Jangan sampe anak-anak muda Minahasa bertanya,”Maengket”, itu apa ya? Salah satu cara yang bisa dipakai yaitu dengan mengadakan acara “Minahasa Week,” di sekolah atau Pekan. Nah, lomba-lomba dalam rangka mempromosikan budaya Minahasa bisa ditampilkan. Mulai dari lomba tari, pidato, menulis, busana atau disain busana daerah sampai lomba memasak masakan Minahasa a la Master Chef.

Memanfaatkan Dunia Digital

Budaya Minahasa apabila diekspos melalui dunia digital akan bisa menjangkau lebih luas terutama generasi muda. Misalnya, bahasa tana’ di Minahasa yang lama-kelamaan mulai ditinggalkan karena para penuturnya sudah tua dan orang muda tidak diajari atau malas plus gengsi memakainya. Salah satu cara yang bisa dipakai adalah dengan memanfaatkan sosial media. Caranya seperti yang pernah saya temui adalah dengan memakai bahasa daerah dalam forum atau group di sosial media Untuk tarian, salah satu cara untuk memperkenalkan tarian dalam skala nasional atau dunia misalnya membuat tarian massal atau flash mob. Misalnya membuat tarian maengket massal yaitu melibatkan massa yang besar, direkam dan diedit dengan professional lalu diupload dengan berbagai bahasa sehingga memudahkan pencarian. Penulis pernah mencari di youtube tarian massal maengket yang katanya memecahkan rekor Muri karena melibatkan 6000-an penari, sayangnya tidak ketemu. Untuk rekor tarian massal daerah ternyata tarian Maengket sudah kalah sama daerah lain yang melibatkan sampai 8000-an penari. Intinya bukan hanya masalah jumlah rekor peserta tapi bagaimana kareografi dan pengambilan gambar yang bagus akan membuat tarian Maengket enak dipandang. Ada yang mau membuat flashmob atau tarian massal yang lebih bagus lagi? Video klip memang adalah cara yang ampuh untuk mempromosikan budaya karena budaya saat ini adalah budaya visual.

Suatu kali saya tertegun dengan suatu klip di youtube tentang video makanan orang Minahasa yang justru dibuat dan diupload oleh orang bule. Isi videonya tentang berbagai menu makanan khas MInahasa dan videonya diambil di rumah makan yang sederhana. Saya cuma mikir kok malah orang bule yang begitu antusias dengan budaya khas Minahasa dalam bentuk kuliner sedangkan orang Minahasa sendiri belum terpikir untuk meng-uploadnya Cuma meng-upload di puru doang, ha ha. Ini suatu contoh kecil saja, jangan sampe budaya Minahasa lalu diklaim oleh orang lain terutama orang Malaysia baru orang Minahasa ba demo! Ya ini Cuma pengandaian saja yang agak lebay. Pastikan bahwa kita bangga dengan budaya Minahasa dan terus melestarikan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pemanfaatan media teknologi saat ini.

Penutup

Dengan pengenalan sekilas akan budaya Minahasa kiranya akan membuat kita semakin bangga dengan budaya kita sendiri. Apalagi dengan pengetahuan akademik yang makin tinggi yang dimiliki tou Minahasa sepatutnya mendorong kita untuk lebih mengapresiasi budaya Minahasa. Dengan spirit yang ada pada tou Minahasa ini maka kelangsungan budaya itu tidak perlu menggantungkan pada usaha pemerintah. Pelestarian budaya itu adalah tanggung jawab kita semua, iyo toh?!.

Saya pribadi juga bangga dengan marga atau fam yang saya miliki saat ini yaitu Rondonuwu. Marga Minahasa itu unik karena nama-nama fam itu menyandang arti, mirip dengan pemahaman nama orang yahudi bahwa nama itu memiliki arti dan mencerminkan kepribadian. Fam "Rondonuwu" itu berarti "berbicara yang lurus", arti nama ini saya selidiki sendiri pada waktu saya masih SD dan hal itu terngiang terus sampai sekarang. Saya bangga dengan fam ini dan tidak terpikir untuk menggantinya dengan "Messi, Beckham atau Guardiola, he he. Saya akan tetap bangga dengan nama ini karena turut mengingatkan akan jadi diri saya sebagai tou Minahasa kapanpun dan di manapun. Makanya fam ini pula yang saya ikut lestarikan pada dua anak saya karena mereka juga adalah tou Minahasa kacili :). So, tua muda besar kecil tinggi pendek kurus gode lurus dengan ba olven, "Mari jo jaga torang pe budaya, mari jo torang lestarikan budaya Minahasa".

image : beetravel.beesolution.net
___________________________________

[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Mapalus.
[2]http://www.theminahasa.net/social/stories/iyayat.html
[3]http://kolintang.blogspot.com/
[4]http://www.indonesiawonder.com/id/tour/wisata-budaya/tari-maengket
[5]http://id.wikipedia.org/wiki/Kabasaran.
[6]http://warisanindonesia.com/2011/05/tenun-minahasa-setelah-200-tahun-hilang/
[7]http://kolintang.blogspot.com/2010/02/standarisasi-alat-musik-kolintang.html.

Free download Alkitab bahasa Tountembouan : Download


Brenti Jo Bagate

Brenti Jo Bagate
Majalah TIME memuat fakta yang menarik tentang alkohol: 1 dari 25 kematian di dunia disebabkan oleh alkohol, berdasarkan studi yang dilakukan oleh  British medical journal the Lancet. Masalah 'bagate' atau minum minuman keras ternyata adalah bagian dari masalah global yang mengancam kesehatan penduduk bumi dan tingkat daya rusaknya terus bertambah dari tahun ke tahun.

Faktor-Faktor Penyebab Seseorang Bagate

Bagi anak muda di Minahasa atau Manado, bagate itu sudah dianggap biasa. Bagate itu adalah slang yang dipakai untuk seseorang yang minum minuman keras entah produk lokal atau hasil oplosan dengan minuman lain. Karena sudah biasa maka akhirnya kebiasaan minum minuman keras ini jadi budaya yang terus lestari sembari memakan korban dalam berbagai generasi.
Walaupun dikenal sebagai daerah yang religius tapi budaya bagate di Nyiur Melambai tetap eksis.  Dinasehati dengan ajaran kitab suci, dihimbau oleh pemerintah tapi lagi-lagi budaya ini nggak ada matinya. Penyebabnya ada berbagai faktor sehingga budaya ini tampaknya sulit hilang dari bumi Nyiur Melambai.  Nah, saya mencoba menelusuri faktor-faktor penyebab seseorang bagate:

          Pertama, dengan bagate akan memberikan keberanian alias cara untuk tampil macho (tunjung jago'). Dengan  bagate, maka seseorang akan mendapatkan keberanian yang secara alami tidak dia miliki. Ini jadi modal buat nyong-nyong alias cowok-cowok yang nggak pede untuk mentransformasi dirinya supaya jadi berani. Supaya berani tampil, berani ngomong maka perlu doping dan caranya ya dengan bagate. Itu yang ada dalam pikiran anak-anak muda.
          Alasan dengan bagate akan memberi keberanian sebenarnya bertentangan  dengan pandangan orang luar Manado tentang orang Manado sendiri bahwa orang Manado itu punya percaya diri atau keberanian. Jadi sebenarnya tanpa bagate pun potensi kepercayaan diri dalam diri orang Manado sudah ada. Dan bagi cowok yang mau mendekati cewek dengan cara bagate harusnya malu karena sebenarnya dia sedang memanipulasi dirinya dan cewek yang didekatinya. Artinya keberaniannya itu bukan natural dari dirinya tetapi karena doping minuman keras.

          Kedua, dipengaruhi teman-teman. Seseorang memulai minum itu biasanya tidak secara spontan sendiri tetapi dipengaruhi teman. Supaya dianggap setia kawan atau karena sungkan dengan ajakan teman akhirnya dia mulai minum-minuman keras. "Kalu nyanda minum, nyanda ba tamang!", ungkapan ini secara halus sekaligus paksaan yang menyebabkan seseorang akhirnya ikutan bagate.
          Alasan kesetiakawanan akhirnya dimanipulasi supaya seseorang menjadi ikut minum. Harus diakui tekanan teman begitu kuatnya mempengaruhi seseorang untuk minum. Tapi saya pernah menjumpai ketika kita sendiri punya prinsip untuk tidak bagate maka orang-orang yang bagate pun sebenarnya respek sama kita. Kalau ada ajakan atau tawaran mungkin saja mereka sedang mengetes seberapa kuat iman atau nyali kita menghadapi godaan. Bisa saja muncul tudingan yang kadang memerahkan telinga kita,"Ngana laki-laki atau bukang?" Tapi pegang prinsip,"Yang waras ngalah," jadi kita yang 'sadar' nggak perlu membuktikan diri dengan ikut minum atau membalas dengan kata-kata yang memancing emosi. Tetaplah cool. 

          Ketiga, penghangat dalam acara kumpul-kumpul atau kongkow-kongkow.  Dengan kata lain ‘nggak bagate maka ngga rame’. Dengan bagate maka suasana dijamin pasti akan lebih seru, diskusinya jadi rame karena masing-masing jadi mulai mengeluarkan kata-kata yang kalau nggak minum nggak akan keluar. Makanya dijuluki air kata-kata.
          Awalnya mungkin membuat diskusi jadi seru tapi lama-kelamaan malah omongan tambah ngelantur dan kalau dalam keadaan panas seperti ini maka pikiran, hati dan lidah sudah nggak sinkron. Omongan yang keluar sudah nggak bisa dikontrol dan langsung memancing emosi dan ujung-ujungnya berantem. Kalau udah begini, wah berabe. Teman jadi lawan gara-gara sudah lupa diri dan akhirnya merusak persahabatan atau persaudaraan. Betapa sering pertumpahan darah terjadi awalnya dari minum-minuman keras dan menjelma menjadi keributan.
Jadi gimana kalau sudah disodorkan minuman pas kita lagi kumpul-kumpul nih?Saya pernah melihat seseorang yang mantan peminum ketika disodori minuman dia langsung bilang,”Saya sekarang minumnya kopi, so nyanda minum begitu.” Mendengar ucapan ini anehnya teman-temannya yang tukang minum bisa mengerti.  Jadi sebenarnya kita bisa menolak secara halus dengan mengatakan bahwa kita lagi kepengen kopi atau ngidam kopi, ha ha ha.

          Keempat, memberikan euphoria atau kegembiraan secara individu. Terutama berlaku untuk orang yang bagate sendiri maka dia akan menikmati euphoria alias nge-fly atau kondisi melayang sebagai pelarian dari galau atau stress yang dia alami. Ibarat obat terlarang, bagate itu memberikan efek yang sama dan menjurus nantinya kepada kecanduan.
Kegembiraan atau kondisi nge-fly itu sebenarnya cuma ilusi alias semu belaka karena setelah dia sadar, masalah itu belum hilang. Malah bisa jadi tambah runyam. Kegembiraan atau keceriaan atau relaks yang didapat bukanlah relaks yang sesungguhnya tapi kegembiraan yang palsu. Kita sendiri tidak mau barang palsu makanya harus kembali ke realita, ke yang asli! Dan orang yang mau nge-fly dengan cara bagate itu kudu belajar dari pengalaman karena banyak yang mau mengalami sensasi ‘melayang” eh malah melayang selamanya alias game over alias mati!
Kelima, sebagai penghangat tubuh. Awalnya dikenal sebagai minuman penghangat tapi ternyata minuman ini menjadi minuman pemanasan untuk hal-hal yang menimbulkan malapetaka! Di kalangan orang Minahasa ada sindiran tentang minuman ini.  Katanya kalau minum Cap Tikus satu sloki (sejenis gelas kecil) untuk sekedar tambah darah, memanaskan tubuh. Minum dua sloki mulai banyak bicara. Tiga sloki pasti akan cari gara-gara. Empat sloki sudah pasti bikin perkara. Minum lima slokibikin tumpah darah. Enam slokimasuk penjara. Akhirnya, minum tujuh slokimati dan masuk neraka.


Budaya bagate = Budaya Kematian

World Health Organization (WHO) pada tahun 2011,mencatat 2,5 juta penduduk dunia meninggal akibat alkohol dan 9 persen kematian tersebut terjadi pada orang muda, yakni usia 15-29 tahun. Usia yang produktif tapi malah mati sia-sia. Minum alkohol juga memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas. Medicinet melaporkan kematian anak muda sebanyak 2000 orang per tahun di bawah umur 21 tahun akibat pengaruh alkohol. Belum lagi kriminalitas seperti pemukulan atau perkelahian dan berujung pada pembunuhan akibat pengaruh alkohol. Sayang sekali Sulawesi Utara tidak punya data yang merekam kecelakaan atau kematian karena alkohol. Kalau ada mungkin kita akan terkaget-kaget barangkali!
Sebagai orang Minahasa, saya sendiri prihatin dengan budaya bagate. Bisa dibilang bahwa budaya bagate itu identik dengan budaya kematian.  Mungkin yang terbiasa bagate akan protes dengan ungkapan yang agak keras ini. Data atau statistik memang tidak komplit tapi coba cek aja  di Mister Google maka akan terdisplay  kasus-kasus kematian atau kriminalitas yang dipicu karena bagate..
Saya tumbuh dan besar di kampung yang di dalamnya ada orang-orang yang akrab dengan bagate. Dan saya mengenal anak-anak muda yang tidak pernah mencapai usia paruh baya ataupun tidak sampai menginjak usia seperempat abad dan dengan cepat mengakhiri hidupnya hanya gara-gara bagate. Saya sendiri juga menyaksikan teman atau saudara yang menjadi korban karena bagate. Di Minahasa/Manado kisah yang serupa sering kita dengar. Amat memprihatinkan ketika jiwa anak-anak muda itu melayang selamanya…Begitu cepat dan sia-sia.

Budaya Bagate = Budaya Bunuh Diri

Sebenarnya dengan bagate itu adalah cara untuk bunuh diri. Data The Mental Health Foundation1 melaporkan bahwa:
·         65% kasus bunuh diri dikaitkan dengan minum minuman keras berlebihan;
·         70% dari pria yang bunuh diri telah minum alkohol sebelum bunuh diri. 
Alkohol walaupun diminum sedikit-demi sedikit tetap saja racun dan itu akan masuk dan menggerogoti tubuh seseorang. Asal tahu saja, kadar alkohol dalam minuman keras tradisional (CT) itu sangat tinggi yaitu 40% bahkan lebih!, setara dengan minuman vodka Rusia. Secara logika saja, tubuh kita ini sebagian besar terdiri dari air tapi dipaksa untuk dimasukin cairan yang tidak sesuai. Ini namanya pemaksaan dan kalau tubuh kita bisa ngomong, dia sebenarnya akan teriak! Bukan ini yang gue mau, katanya. Tapi yang minum malah berkata,”Nah, ku tahu yang ku mau.” Dengan kata lain kita sendiri sedang menyiksa organ-organ tubuh kita secara konstan. Apalagi yang dimasukin ini adalah alkohol yang mengandung unsur membakar maka orang yang bagate itu secara perlahan tapi pasti sedang membakar organ-organ tubuhnya sendiri.
Walaupun ada studi yang mengatakan ada manfaat dari bagate dengan takaran tertentu tapi masih tetap kontroversi. Bahkan konsumsi sedikit juga tetap akan memberikan efek dalam jangka panjang. Jadi kalau mau amannya, lebih baik jauhi bagate itu.


Ngana Pe Hidop Berharga

Kiapa so, kita pe hidop kwa! Mo mabo sampe malintuang, ini kita pe urusan! Hal ini sering muncul ketika seseorang bereaksi saat ditegur waktu mo bagate. Ini menarik, senada dengan ungkapan,"It's my life, so what gitu loh".  Ungkapan ini menunjukkan  prinsip anak-anak muda yang mengklaim hidup ini adalah miliknya. Masa muda itu adalah haknya untuk bersenang-senang guna menikmati kepuasan yang bisa dia gapai di dunia ini. Jadi mau dia minum kek, mau teler kek, mau jungkir balik itu adalah kesenangan yang  kudu dijalani. Pandangan ini sejalan dengan hedonisme, yang penting puas, nikmati dulu kesenangan yang ada, akibatnya nggak perlu dipikirin apalagi caranya!

Benarkah torang pe hidup ini torang punya sandiri? Tunggu dulu, orang-orang yang punya pandangan hidup seperti ini so lupa alias lupa  diri (namanya so mabo :), karena sejatinya torang pe hidup bukan torang punya sandiri. Hidup kita ini berasal dari Pencipta kita yang Agung dan Dia mendisain hidup kita untuk bisa mencapai tujuan yang baik dan mulia. Nah, disinilah yang tidak disadari oleh kawula muda yang berpikir hidupnya adalah miliknya sendiri. Mengklaim bahwa hidup kita adalah milik kita sendiri sebenarnya menunjukkan arogansi alias penyombongan diri yang tidak berdasar. Dengan kata lain kita sebenarnya tidak menghargai apa yang Tuhan pada diri kita dan kita menyia-nyiakan kesempatan dan hidup yang indah yang Tuhan berikan. "Life is beautiful," Hidup itu terlalu indah untuk dikorbankan demi bagate. Bagate itu yang bikin hidup bukan lebih hidup tapi jadi perlahan-lahan menuju kerusakan dan kehancuran.

Ada satu ungkapan kitab suci yang terkenal mengatakan bahwa,”Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” Dalam ungkapan ini terungkap suatu makna ganda yang amat penting  yaitu kita juga sepatutnya mengasihi diri selain mengasihi sesama. Mengasihi diri? Artinya jelas bukan narsis atau cinta diri karena orang yang cinta diri mana mungkin mengasihi sesama, iya kan? Lalu apa artinya? Mengasihi diri berarti menghargai diri sendiri. Menghargai diri berarti menjaga bodi, hati, pikiran dan hidup dengan baik.

Tubuh atau diri kita ini sangatlah berharga. Maka perlu dijaga bukan hanya dengan makanan sehat tapi juga minuman dong. Bagi seorang muda, salah satu anugerah sekaligus modalnya adalah tubuh yang sehat sehingga bisa dipakai untuk beraktifitas. Kalau bodi sudah afkir alias udah rusak maka spare partnya nggak semudah mengganti onderdil mobil. So, lebe bae kita jaga dari sekarang kalau nggak suatu saat nanti baru menyesal.

Merdeka Dari Bagate

Sebagai penutup, saya jadi terpikir bahwa bulan ini adalah bulan kemerdekaan. Indonesia sudah lama merdeka tapi sayangnya masih banyak orang terutama di Nyiur Melambai yang belum merdeka dari bagate. Mereka ibarat kata masih terbelenggu dengan budaya minum (minuman keras) yang sebenarnya tanpa disadari membuat mereka jadi tidak berdaya. Memang kelihatan dari luar tampaknya bagate itu jadi jagoan tapi tubuhnyatepatnya di dalamnya sebenarnya keropos.

Bagate itu sebenarnya cara kerjanya mirip dengan drugs, membuat seseorang kecanduan, tidak bisa lepas jadi seolah-olah tubuh itu harus terus diisi dengan alkohol. Hm, kalau sudah begini gimana mau maju. Kabar baiknya, selalu ada harapan. Orang bisa stop bagate dan tidak bergantung pada miras. Dengan cara stop bagate inilah kita bisa benar-benar merdeka dari minuman keras dan mengisi kemerdekaan.

Sebagai orang Minahasa kita pasti ingat spirit perjuangan Wolter Mongisidi, Pierre Tendean, dan banyak anak-anak muda Minahasa yang berjuang dengan darah dan nyawa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Visi mereka sebenarnya adalah vision of life dan vision for life. Mereka berjuang agar generasi mendatang bisa hidup, bukan hanya sekedar eksis tapi hidup dan berjuang untuk hal-hal yang berguna. Sedangkan bagate itu sebaliknya, bukan vision for life tapi suicide alias bunuh diri! Pertanyaannya, maukah kita menghargai perjuangan mereka dan mempergunakan kemerdekaan yang ada saat ini dengan menjalani hidup dengan baik? So, sadar jo mulai dari sekarang. Jang bagate, karena bagate itu adalah barisan gampang teler. Stop bagate, OK? Merdeka! 



Robert Wolter Mongisidi

Robert Wolter Mongisidi
Muda, ganteng, cerdas dan berkharisma. Itulah Robert Wolter Monginsidi, sosok pahlawan nasional yang dianugerahi gelar tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana). Di usia yang masih sangat muda dia menjadi pemimpin gerilya Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi melawan Belanda. Perjuangan beliau yang gigih melawan Belanda tidak akan terlupakan bukan hanya oleh rakyat Indonesia tapi bagi pihak Belanda waktu itu apalagi kelihaiannya meloloskan diri cukup membuat Belanda pusing dan kewalahan. Perjuangan yang berani, tanpa kompromi serta setia hingga akhir menjadi motto hidupnya sampai detik terakhir dia menghembuskan nyawaya. Meninggal di usia muda, masih 24 tahun tapi perjuangannya tidak akan terlupakan.


Beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda itu menjabat tangan serta mengampuni regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Wolter berkata:" "Laksanakan tugas saudara, saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara-saudara. Mungkin Wolter sedang mengingat ucapan pengampunan Tuhan Yesus saat penyaliban-Nya di kayu salib.

"SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN!" itulah sebuah tulisan Wolter yang ditemukan pada Alkitab yang dibawanya ketika dieksekusi dilakukan. Itulah pernyataan keyakinannya kepada Tuhan dan perjuangannya untuk Kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak akan pernah pudar.


Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi — sepucuk surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya –  ia menggambarkan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya “sebagai bunga yang sedang hendak mekar…digugurkan oleh angin yang keras”.(http://caping.wordpress.com/category/tokoh/page/21/).

Saya sendiri (Penulis) adalah pengagum beliau. Pas waktu kelas 5 atau 6 SD saya sempat menonton filmnya. Kekaguman saya bertambah karena ekspresi patriotismenya serta goresan-goresan penanya walaupun singkat tapi ternyata sangat luar biasa. Terkesan dan penasaran dengan kisah beliau serta goresan-goresan penanya, saya mencoba untuk melakukan wawancara dengan beliau. Berikut adalah petikan wawancara dengan beliau:

Coba ceritakan latar belakang Anda dan keluarga Anda sewaktu kecil.

Saya sebenarnya lahir di pesisir desa Malalayang, Manado  dari suku Bantik. Saya lahir pas hari Valentine yaitu tepatnya pada tanggal 14 Februari 1925. Saya putera ke 4 dari 11 bersaudara, Papa saya adalah Petrus Monginsidi dan Mama saya Lina Suawa.

Dari biografi dan catatan yang saya dapat dari Mr. Google, nampaknya Anda sempat menjadi guru di usia 18 tahun. Ini sangat menarik.   Bisa ceritakan latar belakang pendidikan Anda?

Ya saya sendiri melihat bahwa pendidikan itu penting. Jadi saya masuk pendidikan HIS tahun 1931, kemudian lanjut ke Sekolah MULO Frater Don Bosco Manado dan berlanjut ke Sekolah Pertanian yang didirikan Jepang di Tomohon serta Sekolah Guru Bahasa Jepang.  Setelah tamat saya mengajar bahasa Jepang di bebeapa tempat antara lain di Malalayang, Liwutung dan Luwuk Banggai. Karena saya pingin terus belajar akhirnya saya masuk SNIP Nasional di Makassar. Waktu itu saya sampai kelas III, itu di tahun 1945.

Apa yang mendorong Anda untuk berjuang dan angkat senjata. Bukankah lebih baik ngajar di sekolah saja dan bukankah itu sudah termasuk bentuk perjuangan?

Saya tidak bisa berdiam diri melihat kekejaman Belanda. Saya merasa sudah cukup waktu buat saya belajar dan mengajar di sekolah.  Bagi saya yang terpenting adalah bagaimana berjuang kembali untuk mempertahankan kemerdekaan NKRI. Itulah yang mendorong saya untuk mengadakan konferensi pada tanggal 17 Juli 1946, di desa Rannaya. Dalam konferensi itu, dibentuk suatu induk organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi), terpilih sebagai Ketua Ranggong Daeng Rongo dan Sekjennya adalah saya sendiri.

Keberanian, kecerdasan dan pembawaan diri Anda di medan pertempuran sangat disegani baik kawan maupun lawan. Ini yang juga digambarkan dalam film.  Saya ingin tahu, bagaimana Anda melakukannya di lapangan atau di medan sebenarnya? 

Ya, saya dipercaya memimpin aksi pertempuran melawan tentara Belanda baik didalam kota maupun di luar kota. Peralatan yang kami gunakan sih memang kalah canggih dibanding Belanda tapi kami menggunakan berbagai taktik dan strategi. Tentu saja itu belum cukup,  ditambah dengan tekad dan keyakinan maka saya yakin apa yang kami lakukan pasti akan merepotkan musuh. Dan itulah yang terjadi.

Anda termasuk lihai dalam meloloskan diri. Bisa ceritakan tentang hal ini? 

(Tersenyum). Lihai? Yang pasti saya tidak melakukannya dengan hipnotis atau main sogok seperti di zaman Anda sekarang. (Sekarang dia tertawa dan penulis yang tersenyum pahit :). Duit saja nggak punya. Ditambah lagi penjara jaman dahulu benar-benar penjara jadi bukan tempat untuk berleha-leha kayak zaman  Anda tuh. Saya ingat betul, waktu itu saya di tangkap tentara Belanda pada tanggal 28 Februari 1947 di Sekolah SMP Nasional Makassar. Saya dirantai di belakang terali besi tapi saya tidak menyerah. Pada tanggal 17 Oktober 1948 malam, bersama Abdullah Hadade, HM Yoseph dan Lewang Daeng Matari saya melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur.  Sebelum pelarian dilaksanakan, kawan-kawan saya dari luar telah menyelundupkan 2 buah granat tangan yang dimasukan di dalam roti.

Lalu bagaimana kisahnya sehingga Anda tertangkap kembali?

Setelah saya meloloskan diri, Belanda semakin gencar untuk menangkap saya, jadi mereka semakin mempersempit ruang gerak kami dan pasukan kami.  Belanda juga melancarkan taktik yang sangat lihai yaitu mereka memberikan bujukan hadiah bagi siapa yang akan menangkap saya dan teman-teman. Saya dihargai paling tinggi yaitu uang Rp 400,- Abdullah Hadade Rp 300,- HM Yoseph Rp 200,- dan Lewang Daeng Matari Rp 100,-. Dengan hadiah uang para pejuang kami dikhianati, dimana-mana ada mata-mata Belanda sehingga saya sempat berujar,"Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku disini." Akhirnya saya tertangkap pada tanggal 28 Oktober 1947.  Saya dimasukkan ditahanan di Kiskampement Makassar dengan tangan dan kaki saya dirantai dan dikaitkan di dinding tembok. Saya dijatuhi vonis hukuman mati pada tanggal 26 Maret 1949 oleh hakim Meester B Damen.

Saya mendengar bahwa Anda sempat menulis pesan-pesan lewat goresan pena Anda sewaktu dalam penjara sebagai ungkapan tekad dan kesetiaan terhadap ibu Pertiwi serta harapan untuk meneruskan perjuangan suci buat bangsa. Bisa dijelaskan pesan apa yang Anda tulis? 


1.Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.
2.Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada dan juga dengan kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah tinggalkan Kasih Tuhan mengatasi segala-galanya.
3.Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih, tahu berdiri sendiriâ!.belajarlah melipat kepahitan ! Belajar mulai dari 6 tahun, dan jadilah contoh mulai kecil sedia berkorban untuk orang lain.
4. Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja yaitu roh kesetiaan hingga terakhir pada tanah air dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.
5.Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apapun tidak membelenggu jiwa
6.Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata, dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.
7.Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang, saya penuh percaya bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.
8.Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh kali, jika tidak bisa bangun berusahalah untuk duduk dan berserah kepada Tuhan.

(Pesan-pesan itu adalah pesan asli Wolter Robert Mongisidi, tanpa diubah atau diedit oleh Penulis).

Ketika tiba pada hari Senin tanggal 05 September 2005 1949 sebagai hari penghukuman pada sekitar jam 05.00 subuh, di Panaikang Tello, putera bangsa terbaik Robert Wolter Monginsidi dengan gagah berani berdiri tegak di hadapan regu penembak. Kembali dia menulis dan meninggalkan pesan :

1. Setia Hingga Akhir di Dalam Keyakinan!
2. Saya minta dimakamkan di Polombangkeng karena disana banyak kawan saya yang gugur.
3.Sampaikan salam saya kepada Papa, saudara-saudara saya di Malalayang serta teman-teman seperjuangan, saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tercinta.

Sesaat sebelum menuju ke tempat penembakan Wolter menjabat tangan semua yang hadir dan kepada regu penembak. Wolter berrkata; â€Å“ Laksanakan tugas saudara, saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara-saudara.".

Ketegaran dan keteguhan hati menghadapi moncong-moncong senjata yang dibidikan kepadanya dan menolak ketika matanya akan ditutup, ia berucap; "Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku.".

Dengan pekikan, "Merdeka!.merdeka..merdeka.. !!! dari Wolter, maka 8 butir peluru dimuntahkan ketubuhnya, 4 peluru di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 dipelipis kiri dan 1 di pusar, dan seketika ia terkulai. Wolter gugur dalam usia 24 tahun.

Masa perjuangannya memang sangat singkat. Tapi jiwa nasionalismenya dipadu dengan keberanian, keteguhan hati, kesetiaan dan imannya sungguh sangat luar biasa.
Dia memberikan contoh jiwa nasionalisme dan patriotisme bagi anak muda masa kini.
Dia memberikan contoh ketekunan dalam belajar bagi anak muda, meraih pendidikan. yang lebih baik.
Dia memberikan contoh integritas dan pengorbanan bagi para pemimpin bangsa saat ini yang diwarnai krisis moral dan pemerintahan yang korup.
Dia memberikan contoh keberanian bagi seorang pemimpin untuk tegas dan tidak ragu-ragu serta mau keluar dari comfort zone untuk kepentingan bangsa.

Dia memberikan contoh iman bagi orang percaya yang mudah goyah imannya.

Robert Wolter Mongisidi, He is the True Hero.  



Wawancara imajiner ini didasarkan pada tulisan Drs A Noldi . Mandagie ditambah sumber lainnya.

Bersyukur

Bersyukur
Image and video hosting by TinyPic

Dalam tradisi Amerika, tiap Kamis minggu keempat bulan November mereka mengadakan Thanksgiving Day. Kalau di Minahasa atau Manado dikenal dengan "Pengucapan" atau Hari Pengucapan Syukur. Dalam kedua tradisi itu ada kemiripan yaitu bersyukur yang diperingati dengan ibadah dan tidak ketinggalan juga yaitu makan-makannya :).

Bersyukur jelas bukan hanya pada moment Thanksgiving atau Pengucapan, seperti kata teman saya,”Setiap hari seharusnya menjadi moment thanksgiving”. Kita bersyukur bukan karena dihidangkan makanan yang spesial atau tersaji menu istimewa seperti turkey, tinoransak atau winiyo'o. Bersyukur juga bukan hanya hal yang positif seperti yang diajarkan para motivator tetapi bersyukur seharusnya menjadi gaya hidup (lifestyle) orang percaya.

Kita memiliki berbagai motivasi, cara atau ekpresi dalam mengungkapkan syukur. Saya akan mengulas di sini ada lima tingkatan dalam bersyukur.

Pertama, bersyukur dengan membandingkan diri dengan orang lain. Bandingkan ekspresi syukur seorang Farisi,“Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cuka ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari penghasilanku“. (Luk 18:11-12). Apakah ini syukur atau arogansi?
Ada seorang pendeta yang pernah berdoa seperti ini: "Tuhan, kami sangat bersyukur, jikalau di tengah-tengah kondisi bangsa kami dan dunia yang dihantam oleh berbagai bencana alam, kami masih memiliki tempat untuk tinggal, berteduh, dan gedung gereja ini untuk beribadah. Kami bersyukur bahwa Engkau menyediakan makanan kami sehari-hari di tengah-tengah banyak orang yang kelaparan di negeri ini. Kami memuji-Mu atas kasih setia-Mu kepada kami dan kami sangat bersyukur, Tuhan." (http://andreaspilipus.blogspot.com/2010/01/egoisme-berkedok-ucapan-syukur.html).
Dari kedua contoh ucapan syukur di atas, pertanyaannya adalah apakah ucapan syukur kita itu hanya bisa lahir dengan membandingkan diri kita dengan orang yang kurang beruntung dari kita? Apakah syukur kita baru muncul setelah menyaksikan orang yang tidak punya apa-aapa, orang yang kekurangan dan kurang lengkap anggota tubuhnya baru membuat kita bersyukur? Apakah syukur kita hanya muncul pada saat kita merasa lebih baik dari orang lain? Pengucapan syukur jenis ini jelas tidak memadai dan bahkan mengarah kepada arogansi.

Kedua, bersyukur karena kita bergerak dari sisi yang negatif ke sisi yang positif. Dari sisi kelam masalah atau penderitaan lalu mendapatkan pembebasan atau kelepasan. Seperti kisah orang kusta yang bersyukur kepada Tuhan. Tadinya dia sudah tidak memiliki pengharapan dan kondisinya amat memprihatinkan. Perjumpaannya dengan Yesus akhirnya membuatnya mengalami kesembuhan. Responnya adalah dia datang secara langsung kepada Tuhan Yesus untuk mengucap syukur. Hanya, dan ini ironisnya : dari kesepuluh orang yang disembuhkan Tuhan, hanya satu yang kembali untuk mengucap syukur.
Syukur seperti ini sering kali kita lakukan saat kita mengalami jawaban Tuhan atas masalah berat, penderitaan atau penyakit yang datang melanda. Pemulihan dan kesembuhan yang kita alami mendorong dan menggerakkan kita untuk bersyukur kepada Tuhan. Tapi setelah keadaan kembali seperti biasa, setelah semuanya kembali normal maka syukur itu mulai terlupakan. Kita mulai lupa mengucap syukur. Apakah syukur hanya muncul kalau ada hal-hal yang sifatnya luar biasa? Apakah kita bersyukur hanya kalau kita mengalami hal-hal yang sifatnya sensasional? Ketika keadaan kembali menjadi biasa, mampukah kita untuk tetap bersyukur ?

Ketiga, bersyukur dalam sisi yang positif. Di sini kita bersyukur karena berkat dan kelimpahan Tuhan yang nyata baik jasmani dan rohani. Misalnya kita mengalami pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan kita, kesehatan yang baik tanpa kurang suatu apapun menjadikan kita bersyukur. Kelancaran dalam usaha, rumah kita tidak terkena banjir membuat kita bersyukur. Saat kita mengalami perlindungan Tuhan dalam perjalanan, kita bersyukur. Jadi syukur yang kita panjatkan adalah karena segala hal baik dan positif yang kita terima setiap hari.
Bersyukur dalam level ini adalah melihat hal-hal yang baik dan yang menyenangkan yang kita nikmati dalam hidup. Melihat hal-hal yang mendatangkan sukacita, berkat dan kesejahteraan dan kelimpahan dalam hidup. Namun, apakah ini esensi yang sesungguhnya dalam bersyukur? Apakah bersyukur hanya untuk hal-hal yang baik saja? Tuhan ingin kita melangkah dalam level yang lebih tinggi lagi.

Keempat, kita bersyukur dalam segala hal. Bersyukur dalam segala keadaan. Ini level bersyukur yang lebih tinggi dan dalam serta teramat sulit. Ucapan syukur ini nampak dalam ekspresi Habakuk,“ Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, namun aku akan bersorak sorak di dalam Allah yang menyelamatkanku". Inilah syukur yang melampaui hal-hal yang baik, positif dan nyaman dalam hidup. Inilah ekspresi orang yang mampu masuk dalam gerbang Tuhan dengan bersyukur kendati maslah terus membayangi, kesulitan terus menghimpit dan penderitaan tak kunjung mendera, dia tetap mampu bersyukur.
Matthew Henry, seorang hamba Tuhan dari Inggris pernah mengungkapkan syukurnya setelah mengalami perampokan diperjalanan. Ia berkata, “Saya berterima kasih bahwa saya belum pernah dirampok sebelum ini; dan walaupun ia mengambil dompet saya, ia tidak membunuh saya; walaupun ia mengambil semuanya, itu tidak terlalu banyak; dan akhirnya untung saya yang dirampok bukan saya yang merampok.” Ia boleh jadi berkata juga, “Terima kasih untuk kesusahan ini!”.
Bersyukur dalam segala hal bukanlah hal yang mudah. Ketika Paulus berkata dalam 1 Tim 5:18,“Bersyukurlah dalam segala hal,“ Paulus tahu apa artinya hal ini. Dialah salah seorang rasul yang mengalami banyak pengalaman yang tidak mengenakkan: dipenjara, mengalami karam kapal, dilempari batu, dicambuk berkali-kali dan sebagainya dan dalam mkeadaan yang sulit seperti itu paulus masih tetap bersyukur. Bersyukur dalam segala hal nampaknya sulit tapi tidak mustahil. Bersyukurlah dalam segala hal sebab itulah yang dikehendaki Allah dalam Kristus Yesus bagi kamu.


Kelima, bersyukur karena mengingat siapakah Tuhan dan apa yang Tuhan telah lakukan bagi kita. Dengan kata lain bersyukur bukan karena pemberiannya tetapi kepada Pemberi, bersyukur bukan karena berkatnya tapi kepada Sang Sumber Berkat itu sendiri. Contoh yang jelas adalah Hana. Hana berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan untuk memohon dan akhirnya Tuhan menjawab doa Hana dan mengaruniakannya seorang anak. Respon Hana sangatlah indah. Hana dalam doa syukurnya bukanlah berfokus pada bayi yang baru dimilikinya. Bisa saja dia berdoa,"Tuhan terima kasih dan saya bersyukur Engkau sudah mengaruniakan anak yang lucu, montok dan sehat. Terima kasih untuk anak ini, ini  adalah hadiah terindah.dalam hidup saya".  Sebaliknya Hana dalam syukurnya berfokus pada Tuhan dan pada kebaikan dan kekuasaan Tuhan.
Dalam doanya dia mengatakan dalam 1 Samuel 1:1-2 „"Hatiku bersukaria karena TUHAN, tanduk kekuatanku ditinggikan oleh TUHAN; mulutku mencemoohkan musuhku, sebab aku bersukacita karena pertolongan-Mu.
Tidak ada yang kudus seperti TUHAN, sebab tidak ada yang lain kecuali Engkau dan tidak ada gunung batu seperti Allah kita.“
Dalam doa selanjutanya, hana tidak henti-hentinya bersyukur untuk kuasa dan kebesaran Tuhan : „TUHAN mematikan dan menghidupkan, Ia menurunkan ke dalam dunia orang mati dan mengangkat dari sana.TUHAN membuat miskin dan membuat kaya; Ia merendahkan, dan meninggikan juga. Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu, dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsawan, dan membuat dia memiliki kursi kehormatan. Sebab TUHAN mempunyai alas bumi; dan di atasnya Ia menaruh daratan. (ayat 6-8).

NIV menggambarkan bahwa fokus utama doa syukur Hana bukan pada bayinya tetapi kepada Tuhan yang telah menjawab doanya. Menarik, bukan? Doa syukurnya sesungguhnya lahir dari hatinya yang mengasihi Tuhan dan hal itu menempatkan Tuhan sebgai sentral ucapan syukurnya. Bagaimana dengan kita? Tuhan pasti mendengar dan menjawab doa-doa kita, tetapi apakah Dia akan mendapati kita lebih mengasihi Dia ketimbang pemberian yang kita terima melalui doa kita?
Syukur akan bermakna kalau didasari dari hati yang mengingat siapakah Tuhan dan apa yang telah dilakukannya bagi kita. Syukur akan bermakna kalau kita juga menyadari siapakah kita ini, yang sesungguhnya tidak layak menerima anugerah Tuhan. Kesadaran akan hal ini akan membuat hati kita melimpah dengan syukur kepada Tuhan.

Bagaimana dengan level syukur kita selama ini? Apakah masih dalam level yang terendah? Bersyukur tetapi sesungguhnya bukan bersyukur? Bersyukur hanya karena ha-hal baik? Bersyukur hanya karena mendapat jawaban-jawaban yang kita inginkan? Mari kita melangkah ke tingkat yang lebih tinggi : Bersyukur dalam segala keadaan dan bersyukur karena kita mengingat siapakah Tuhan itu dan apakah yang Tuhan telah lakukan bagi kita.

Soli Deo Gloria



Untuk poin 2,3,4, dan 5 dikutip dari 5 Levels of Thanksfulness. by Mr. Lyle Welty
Copyright © Spesial Unik. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design