Zaman digital ini membuat manusia berpacu, berusaha meng-update perkembangan terbaru dalam berbagai hal termasuk dalam gaya hidup tidak terkecuali orang Minahasa. Secara natur tou Minahasa amat terbuka dengan perubahan dan akan terus mengupdate perkembangan gaya hidup modern. Di satu sisi memiliki nilai positif tetapi dampak lainnya adalah dengan derasnya gaya hidup modern membuat ‘budaya’ Minahasa mulai terlupakan. Apalagi kerap anak muda menganggap yang namanya ‘budaya’ itu kuno alias ‘ndeso’ atau hanya milik tua-tua. Ironisnya banyak anak muda yang mengagung-agungkan budaya luar sementar budayanya sendiri tidak dipedulikan. Seakan budaya itu milik masa lalu dan yang lalu biarlah berlalu!
Ada ungkapan yang menarik,”A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots.” Orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang masa lalu mereka, asal muasal dan budayanya ibarat pohon yang tanpa akar. Ibaratnya orang yang mengalami krisis identitas. Kalau seseorang itu mengaku tou Minahasa maka dia akan berusaha mengenal dan menghargai budayanya tersebut. Karena budaya itu yang juga turut membentuk jati diri alias identitasnya sebagai tou Minahasa sejati. Orang luar saja termasuk orang Barat mengakui kelebihan dan keunikan budaya kita, malah bule-bule atau londo-londo itu begitu antusias mengkaji budaya kita. Lah masak tou Minahasa malah minder atau malu atau tidak tertarik sama sekali sama budaya sendiri. Kan aneh.
Memang harus diakui ada beberapa anggapan miring mengenai budaya Minahasa. Pertama ada anggapan bahwa seolah-olah budaya Minahasa itu tidak ada yang asli alias budaya impor karena pengaruh budaya Eropa semuanya. Kedua, ada anggapan bahwa budaya itu pasti terkait erat dengan okultisme sehingga budaya itu tidak patut dipertahankan. Ketiga, ada budaya-budaya yang menjadi sorotan negatif misalnya baku cungkel atau bagate ato bafoya-foya. Untuk statemen yang pertama, bahwa seolah-olah budaya Minahasa itu tidak ada yang orisinil sebenarnya tidak mendasar. Memang ada pengaruh budaya Barat seperti katrili tapi ada budaya-budaya asli Minahasa yang bisa 'survive' alias bertahan semenjak kedatangan bangsa asing. Berarti budaya itu sudah teruji oleh zaman dan ini patut dibanggakan. Kedua, budaya Minahasa tidak semuanya terkait okultisme. Ibaratnya jangan dipukul rata, karena di budaya daerah lain juga ada. Banyak budaya Minahasa yang positif dan tidak ada konten atau relasi dengan okultisme. Budaya yang lain di luar Minahasa malah lebih banyak konten mistik dan okultismenya.Ketiga, dalam berbagai budaya di dunia pasti ada juga budaya atau kebiasaan tertentu yang negatif, tapi yang pasti tou Minahasa sejati tidak akan setuju dengan budaya seperti itu. Makanya menjadi tugas tou Minahasa untuk mengeliminasi kebiasaan negatif itu dan sebaliknya berusaha mengembangkan dan melestarikan budaya yang positif.
Minahasa sesungguhnya memiliki khazanah budaya yang unik, menarik dan patut dibanggakan serta bisa diekspos ke tingkat internasional. Budaya Minahasa jangan hanya dipandang sempit dalam bentuk yang sifatnya pertunjukkan, seni atau entertaintment. Ada budaya yang tidak terlihat tapi sebenarnya sangat vital dan fundamental dan itulah yang menjiwai tou Minahasa sejati! Budaya yang tidak kelihatan itu adalah semacam 'way of life' atau bahasa antiknya falsafah hidup atau mentalitas yang menyatu dalam ekspresi budaya. Budaya semacam ini tidak terikat oleh tempat atau kondisi sehingga ketika orang Minahasa di perantauan maka budaya hidup seperti ini bisa terus dibawa, dipertahankan, diekspresikan. Simak beberapa ekspresi budaya Minahasa yang patut kita banggakan:
Pertama, budaya Mapalus. Mapalus adalah suatu ungkapan yang bermakna bekerja sama untuk mewujudkan sesuatu yang baik. Berasal dari istilah bekerja di kebun (ma’ando) di mana para pekerja rame-rame mengerahkan tenaga (palus) untuk menggarap kebun sehingga bisa menghasilkan sesuatu. Mapalus dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki semangat kerja keras dan spiritnya adalah demi untuk membantu orang lain. Itu sebabnya spirit Mapalus dipakai dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Budaya Mapalus ini bahkan diklaim memiliki kelebihan. Menurut buku The Mapalus Way, mapalus sebagai sebuah sistem kerja memiliki nilai-nilai etos seperti, etos resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong royong, good leadership, disiplin, transparansi, kesetaraan dan trust.[1] Di tengah tantangan dunia yang semakin individualistis dan egois yang tak akan terelakkan mempengaruhi setiap orang Minahasa baik di daerah maupun di luar daerah maka spirit Mapalus ini kiranya akan tetap mempersatukan dan mengeratkan persaudaraan tou Minahasa.
Kedua : I Yayat U Santi! Terus terang cukup sering baca kalimat ini tapi nggak tau artinya. Bersyukur saat mau nulis tentang artikel ini ada Mr Google yang menampilkan referensi tentang arti kata ini. “I Yayat U Santi! “, adalah ekspresi yang dilontarkan oleh 'leader' dari para petarung atau prajurit yang menarikan tarian perang yaitu tari Kabasaran. Ekspresi itu bermakna secara literal “Angkat dan acungkan senjatamu!”.[2] Ini diungkapkan pastinya dalam konteks perang bukan hanya sebagai perintah atau komando tetapi juga untuk mengobarkan semangat untuk menghadapi musuh, yang disambut dengan teriakan “Yohooi!” oleh para prajurit. Ungkapan ini untuk menghalau kegalauan dan kegentaran menghadapi lawan. Makna ungkapan itu kalau ditarik pada jaman sekarang berarti spirit atau semangat untuk berjuang menghadapi tantangan, semangat untuk maju dengan penuh keberanian! Dengan kata lain ini adalah suatu prinsip untuk tegar, maju menghadapi rintangan dan mengalahkan tantangan. Lawan atau tantangan saat ini adalah kebodohan, kemabukan, korupsi, kemalasan yang bisa melanda insan Minahasa. Spirit ini harusnya dimiliki anak-anak muda masa kini untuk berani menghadapi realita dan tantangan hidup dengan penuh keberanian dan ketegaran, bukannya melarikan diri dari realita dan galau dengan ngefly atau teler!
Ketiga, Pengucapan! Walaupun kata ini diserap dari bahasa Malayu atau Indonesia tapi spirit ini begitu kental dalam budaya Minahasa. Yang saya maksudkan bukan hanya acara sekali setahun yang dirayakan waktu selesai panen tetapi semangat ini dapat dilihat dalam respon orang Minahasa sehari-hari. Orang Minahasa punya suatu tradisi untuk mengadakan syukuran mulai dari 'rumambak' alias nae rumah baru, baptisan, hari ulang tahun, ulang tahun perkawinan dan lain sebagainya. Spirit yang ada dalam diri orang Minahasa adalah bahwa hidup itu harus dirayakan dengan sesama yang didasari dalam pengakuan akan berkat dan anugerah Tuhan. Ekpresi pengucapan itu sendiri adalah suatu selebrasi hidup, suatu perayaan syukur yang benar-benar menjiwai orang Minahasa. Tidak heran dalam acara kedukaan ada acara “Rumame” atau”Brantang” di mana orang-orang membawa makanan untuk dinikmati bersama keluarga yang berduka. Keluarga yang berdukapun akan menyediakan tempat dan so pasti makanan untuk orang-orang dalam jumlah yang mampu disediakan. Inilah spirit ucapan syukur. Dalam suka maupun duka orang Minahasa bersyukur. Puncak ucapan syukur tradisional itu adalah “Pengucapan” yang di adakan pertengahan tahun. Kegiatan ini menjadi kegembiraan dan sukacita yang dimulai dari mempersembahkan hasil panen di Gereja dan setelahnya beralih pada acara di rumah-rumah yaitu dengan bersantap ria makanan khas Minahasa!
Keempat, tarian : Tari Maengket. Tarian maengket adalah tarian yang berpadu dengan musik dan nyanyian bersama. Sejumlah pengamat kesenian bahkan melihat maengket sebagai satu bentuk khas sendratari berpadu opera.[3] Tari Maengket adalah tarian khas Minahasa yang terkait dengan pertanian. Tarian ini jelas merupakan ekspresi syukur kepada Tuhan dan dilakukan pada saat panen sedang berlangsung. Ekspresi tarian yang dilakukan sebagai ungkapan syukur atas kelimpahan panen ini disebut Maowey yang dijadikan babak pertama dalam tarian Maengket. Babak keduanya adalah Marambak yaitu tarian dalam rangka pesta syukur atas rumah baru sekalian menguji kekuatan rumah baru tersebut. Rumambak juga merupakan spirit gotong royong dalam rangka membangun rumah baru tersebut. Sedangkan Lalayaan adalah tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa yang tujuannya dulu mencari jodoh. Tari Maengket bahkan menjadi inspirasi grup pop-rock legendaris Indonesia, Koes Plus untuk menciptakan lagu berjudul “Mak Engket”. Lagu ciptaan Yok Koeswoyo ini dimuat dalam album Koes Plus Pop Melayu Volume 2 pada tahun 1974.[4]
Kabasaran adalah tarian khas para satria Minahasa dalam peperangan. Ciri khas tarian ini adalah para penari mengenakan kostum perang serba merah, mengangkat senjata parang atau tombak sambil melotot dan dengan wajah sangar membuat tarian ini nampak macho, kontras dengan sebagian besar tarian di daerah lain yang lemah nan gemulai. Kabasaran berasal dari kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang. Pengaruh bahasa melayu Manado lalu mengubah penyebutan menjadi “Kabasaran”, yang tidak memiliki hubungan dengan kata “besar”.[5] Tarian pada akhirnya di zaman Belanda tarian ini dipakai untuk menyambut pembesar atau tamu agung dan juga mengiringi kematian petinggi-petinggi adat. Ada yang menarik dari tari Kabasaran yaitu Kabasaran ini tak selamanya ditampilkan dengan garang karena ada babak selanjutnya para satria berekspresi ceria yaitu di babak Lalaya’an.
Kelima, kerajinan : Kain Tenun Minahasa. Tenun Minahasa sempat menghilang kurang lebih selama 200 tahun. Makanya kalau kain tenun Minahasa bisa muncul saat ini patut disyukuri dan harus dijaga jangan sampai hilang lagi. Adalah Thomas Sigar, disainer berdarah Manado yang mencoba mengembalikan kain tenun tradisional Minahasa ini. Kain tenun Minahasa ini ternyata menarik perhatian para selebritis yang juga ikut memakainya.[6] (Jadi Anda harus bilang “Wow”, dong! Tenun Minahasa memiliki keistimewaan karena “Tenun Minahasa”, memiliki motif yaitu Patola. Motifnya berbentuk geometris menyerupai sirip ular sawah yang dalam istilah Minahasa disebut patola. Pertanyaaannya, bisakah kain itu diproduksi massal dengan motif yang bisa dikembangkan tidak hanya ular Patola tapi mungkin saja motif Manguni, cengkih, Tarsius atau cakalang dengan harga yang terjangkau? Kalau batik saja bisa diproduksi massal dan dikenal sampai ke luar negeri, seharusnya perlu dipikirkan bagaimana bisa membuat produk ini dikenal dan dipakai oleh masyarakat dari semua kalangan di Minahasa. Selain kain bermotif patola, ada juga motif kain tenun yang kasar yang dipakai oleh pasukan Kabasaran.
Keenam, seni bangunan : wale Minahasa. Rumah adat Minahasa yang disebut wale atau bale berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu. Konstruksi rumah panggung ini memiliki latar belakang yang unik yaitu terdapat dua tangga di depan rumah dan tiang penyangga berjumlah 16 atau 18. Kelebihan dari rumah panggung Minahasa adalah sudah terbukti tahan gempa dan gampang sekali untuk bongkar pasangnya sehingga kalau dipindah-pindah sangat praktis. Ciri khas dari rumah adat Minahasa juga adalah warna kayunya dibiarkan secara alami jadi tidak dicat disentuh cat baik luar maupun dalam, jadi secara ekologi sangat ramah lingkungan. Kendati demikian rumah adat Minahasa laku diekspor ke manca negara, sampai ke Jepang dan Afrika!
Ketujuh, kuliner Minahasa: Masakan Minahasa terkenal cita rasanya yang super pedes dan eksotik. Orang Minahasa suka makan daging tapi juga diimbangi dengan sea food alias ikan serta sayur-sayuran yang menarik selera. Masakan khas Minahasa terutama daging memiliki keunikan baik jenisnya maupun cara pengolahannya. Selain itu masakan daging memiliki julukan khusus misalnya masakan daging anjing yaitu RW (Rintek Wu'uk alias bulu halus), wiyo'o itu daging babi hutan, kawok yaitu si Mickey Mouse alias tikus dan paniki yaitu Batman eh si kelelawar. Rasanya kalo sudah diolah oleh para koki Minahasa benar-benar lekker van houten alias enak gila :). Cara masaknya ada yang dimasukin di bambu dan dipanggang, kalau daging babi jadilah tinoransak. Daging babi yang dipanggang begitu saja jadilah ra’gey. Hm laper kalo membahas ini. Selain daging, masakan Minahasa ada yang terbuat dari batang pisang dan bambu muda. Belum lagi yang paling terkenal dan bisa dimakan semua orang yaitu bubur Manado. Makanan ringan juga sangat terkenal yaitu nasi jaha yang dipanggang di bambu, panada, cucur, bagea, halua dan lain-lain. Lalu ada gohu yang dibuat dari papaya yang diduetkan dengan kuah yang pedes. Esnya pake es brenebon, hm mantap kwa.
Kedelapan, musik : Kolintang dan Musik Bambu. Kedua jenis musik ini sangat atraktif dan menghasilkan suara musik yang khas. Kolintang yang berbahan dasar kayu dan musik bambu yang terbuat dari bambu tetapi sekarang ini dipadukan dengan alat music dari logam sehingga menjelma menjadi musik bambu klarinet. Kedua alat musik ini menjadi andalan Tou Minahasa dan sering ditampilkan dalam berbagai event. Kolintang dulunya juga sempat menghilang dari peredaran budaya Minahasa tapi akhirnya bisa dikembangkan lagi dan menjadi andalan budaya dalam bidang musik. Darimana asal nama musik kolintang? Pakar music kolintang Petrus Kaseke menyatakan bahwa nama kolintang berasal dari bunyi kayu yang dipukul menghasilkan suara “tong ting tang.”[7] Khusus untuk musik bambu klarinet, musik ini juga sudah cukup dikenal di manca negara. Bahkan salah seorang utusan dari Bill Clinton, mantan presiden USA pernah memesan khusus saksofon bambu khas Minahasa ini karena beliau sangat mahir memainkan saksofon.
Kesembilan, peninggalan arkeologi. Waruga merupakan kubur batu yang dipakai ratusan tahun yang lalu. Waruga yang artinya wale (rumah) dan ruga (raga) orang yang sudah meninggal terbuat dari batu besar yang dipahat. Keunikan waruga adalah terletak pada ukiran-ukiran yang bermotif tumbuhan, hewan atau bentuk geometri tradisonal lainnya. Benda-benda kuno lainnya seperti menhir dapat ditemukan di beberapa daerah di Minahasa. Menhir atau tugu batu yang memiliki sebutan pasak wanua atau batu baranak meruapakan suatu tanda pendirian suatu kampung. Selain itu ada juga peninggalan yaitu watu Pinawetengan, watu Rerumeran, watu Tiwa, watu Tumotowa. Pada batu-batu itu terdapat huruf-huruf kuno yang dikenal sebagai aksara Malesung yang diperkirakan umurnya lebih tua dari huruf Pallawa. Menurut David Lumoindong, aksara di watu Pinawetengan merupakan suatu deklarasi perdamaian, kebebasan, pembagian wilayah dan pemerintahan yang kuno. Ini berarti tou Minahasa zaman dulu udah mengenal yang namanya hidup berdemokrasi dan hak kebebasan yang termasuk paling tua di Nusantara (wikipedia).
Kesepuluh, tradisi hari besar. Selain Pengucapan, orang Minahasa yang umumnya beragama Kristen mengenal tradisi hari raya Kristen yang unik. Misalnya dalam memyambut hari besar seperti Natal dan Tahun Baru maka ada suatu tradisi yang berbeda dibanding tempat lain. Misalnya ada pemasangan lampion Natal serta pohon Natal jauh sebelum bulan Desember. Ketika masuk bulan ber-ber, September, Oktober, November maka sudah mulai diperdengarkan lagu-lagu Natal dan orang-orang sibuk membuat kue Natal. Ketika Natal dirayakan tidak hanya pada tanggal 25 tapi juga dibuatkan Natal kedua, yang kiranya hanya ditemui di Minahasa! Sama halnya dengan Tahun Baru juga ada Tahun Baru kedua serta Kuncikan yaitu minggu terakhir bulan Januari sebagai penutup tahun baru. Maka orang Minahasa di perantauan pasti tidak akan kehilangan momen langka seperti ini, sehingga Natal menjadi ajang pulang kampung sekalian berlibur seperti tradisi mudik pada Lebaran di Jawa. Pada hari Paskah juga sering diadakan pawai Paskah dan pemasangan lampion juga yang berbentuk salib.
Mengintegrasikan Budaya Dalam Pendidikan
Tak dikenal maka tak sayang, demikian juga pepatah ini berlaku dalam hal budaya. Generasi muda seringkali minim dalam pengetahuan tentang budaya karena itu menurut saya sekolah adalah tempat yang tepat untuk memperkenalkan budaya. Di sekolah kan ada muatan lokal dan seharusnya guru bisa memaksimalkan jam muatan lokal itu secara kreatif dan berkualitas. Jangan sampai anak-anak sekolah sekarang buta dengan budayanya sendiri bukan cuma dalam berbahasa 'tana’, tarian tetapi nilai-nilai luhur atau way of life dari orang Minahasa itu seharusnya diajarkan dan dikenalkan kepada generasi muda sehingga mereka tidak akan lupa identitas atau jati dirinya. Jangan sampe anak-anak muda Minahasa bertanya,”Maengket”, itu apa ya? Salah satu cara yang bisa dipakai yaitu dengan mengadakan acara “Minahasa Week,” di sekolah atau Pekan. Nah, lomba-lomba dalam rangka mempromosikan budaya Minahasa bisa ditampilkan. Mulai dari lomba tari, pidato, menulis, busana atau disain busana daerah sampai lomba memasak masakan Minahasa a la Master Chef.
Memanfaatkan Dunia Digital
Budaya Minahasa apabila diekspos melalui dunia digital akan bisa menjangkau lebih luas terutama generasi muda. Misalnya, bahasa tana’ di Minahasa yang lama-kelamaan mulai ditinggalkan karena para penuturnya sudah tua dan orang muda tidak diajari atau malas plus gengsi memakainya. Salah satu cara yang bisa dipakai adalah dengan memanfaatkan sosial media. Caranya seperti yang pernah saya temui adalah dengan memakai bahasa daerah dalam forum atau group di sosial media Untuk tarian, salah satu cara untuk memperkenalkan tarian dalam skala nasional atau dunia misalnya membuat tarian massal atau flash mob. Misalnya membuat tarian maengket massal yaitu melibatkan massa yang besar, direkam dan diedit dengan professional lalu diupload dengan berbagai bahasa sehingga memudahkan pencarian. Penulis pernah mencari di youtube tarian massal maengket yang katanya memecahkan rekor Muri karena melibatkan 6000-an penari, sayangnya tidak ketemu. Untuk rekor tarian massal daerah ternyata tarian Maengket sudah kalah sama daerah lain yang melibatkan sampai 8000-an penari. Intinya bukan hanya masalah jumlah rekor peserta tapi bagaimana kareografi dan pengambilan gambar yang bagus akan membuat tarian Maengket enak dipandang. Ada yang mau membuat flashmob atau tarian massal yang lebih bagus lagi? Video klip memang adalah cara yang ampuh untuk mempromosikan budaya karena budaya saat ini adalah budaya visual.
Suatu kali saya tertegun dengan suatu klip di youtube tentang video makanan orang Minahasa yang justru dibuat dan diupload oleh orang bule. Isi videonya tentang berbagai menu makanan khas MInahasa dan videonya diambil di rumah makan yang sederhana. Saya cuma mikir kok malah orang bule yang begitu antusias dengan budaya khas Minahasa dalam bentuk kuliner sedangkan orang Minahasa sendiri belum terpikir untuk meng-uploadnya Cuma meng-upload di puru doang, ha ha. Ini suatu contoh kecil saja, jangan sampe budaya Minahasa lalu diklaim oleh orang lain terutama orang Malaysia baru orang Minahasa ba demo! Ya ini Cuma pengandaian saja yang agak lebay. Pastikan bahwa kita bangga dengan budaya Minahasa dan terus melestarikan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pemanfaatan media teknologi saat ini.
Penutup
Dengan pengenalan sekilas akan budaya Minahasa kiranya akan membuat kita semakin bangga dengan budaya kita sendiri. Apalagi dengan pengetahuan akademik yang makin tinggi yang dimiliki tou Minahasa sepatutnya mendorong kita untuk lebih mengapresiasi budaya Minahasa. Dengan spirit yang ada pada tou Minahasa ini maka kelangsungan budaya itu tidak perlu menggantungkan pada usaha pemerintah. Pelestarian budaya itu adalah tanggung jawab kita semua, iyo toh?!.
Saya pribadi juga bangga dengan marga atau fam yang saya miliki saat ini yaitu Rondonuwu. Marga Minahasa itu unik karena nama-nama fam itu menyandang arti, mirip dengan pemahaman nama orang yahudi bahwa nama itu memiliki arti dan mencerminkan kepribadian. Fam "Rondonuwu" itu berarti "berbicara yang lurus", arti nama ini saya selidiki sendiri pada waktu saya masih SD dan hal itu terngiang terus sampai sekarang. Saya bangga dengan fam ini dan tidak terpikir untuk menggantinya dengan "Messi, Beckham atau Guardiola, he he. Saya akan tetap bangga dengan nama ini karena turut mengingatkan akan jadi diri saya sebagai tou Minahasa kapanpun dan di manapun. Makanya fam ini pula yang saya ikut lestarikan pada dua anak saya karena mereka juga adalah tou Minahasa kacili :). So, tua muda besar kecil tinggi pendek kurus gode lurus dengan ba olven, "Mari jo jaga torang pe budaya, mari jo torang lestarikan budaya Minahasa".
image : beetravel.beesolution.net
___________________________________
Ada ungkapan yang menarik,”A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots.” Orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang masa lalu mereka, asal muasal dan budayanya ibarat pohon yang tanpa akar. Ibaratnya orang yang mengalami krisis identitas. Kalau seseorang itu mengaku tou Minahasa maka dia akan berusaha mengenal dan menghargai budayanya tersebut. Karena budaya itu yang juga turut membentuk jati diri alias identitasnya sebagai tou Minahasa sejati. Orang luar saja termasuk orang Barat mengakui kelebihan dan keunikan budaya kita, malah bule-bule atau londo-londo itu begitu antusias mengkaji budaya kita. Lah masak tou Minahasa malah minder atau malu atau tidak tertarik sama sekali sama budaya sendiri. Kan aneh.
Memang harus diakui ada beberapa anggapan miring mengenai budaya Minahasa. Pertama ada anggapan bahwa seolah-olah budaya Minahasa itu tidak ada yang asli alias budaya impor karena pengaruh budaya Eropa semuanya. Kedua, ada anggapan bahwa budaya itu pasti terkait erat dengan okultisme sehingga budaya itu tidak patut dipertahankan. Ketiga, ada budaya-budaya yang menjadi sorotan negatif misalnya baku cungkel atau bagate ato bafoya-foya. Untuk statemen yang pertama, bahwa seolah-olah budaya Minahasa itu tidak ada yang orisinil sebenarnya tidak mendasar. Memang ada pengaruh budaya Barat seperti katrili tapi ada budaya-budaya asli Minahasa yang bisa 'survive' alias bertahan semenjak kedatangan bangsa asing. Berarti budaya itu sudah teruji oleh zaman dan ini patut dibanggakan. Kedua, budaya Minahasa tidak semuanya terkait okultisme. Ibaratnya jangan dipukul rata, karena di budaya daerah lain juga ada. Banyak budaya Minahasa yang positif dan tidak ada konten atau relasi dengan okultisme. Budaya yang lain di luar Minahasa malah lebih banyak konten mistik dan okultismenya.Ketiga, dalam berbagai budaya di dunia pasti ada juga budaya atau kebiasaan tertentu yang negatif, tapi yang pasti tou Minahasa sejati tidak akan setuju dengan budaya seperti itu. Makanya menjadi tugas tou Minahasa untuk mengeliminasi kebiasaan negatif itu dan sebaliknya berusaha mengembangkan dan melestarikan budaya yang positif.
Minahasa sesungguhnya memiliki khazanah budaya yang unik, menarik dan patut dibanggakan serta bisa diekspos ke tingkat internasional. Budaya Minahasa jangan hanya dipandang sempit dalam bentuk yang sifatnya pertunjukkan, seni atau entertaintment. Ada budaya yang tidak terlihat tapi sebenarnya sangat vital dan fundamental dan itulah yang menjiwai tou Minahasa sejati! Budaya yang tidak kelihatan itu adalah semacam 'way of life' atau bahasa antiknya falsafah hidup atau mentalitas yang menyatu dalam ekspresi budaya. Budaya semacam ini tidak terikat oleh tempat atau kondisi sehingga ketika orang Minahasa di perantauan maka budaya hidup seperti ini bisa terus dibawa, dipertahankan, diekspresikan. Simak beberapa ekspresi budaya Minahasa yang patut kita banggakan:
Pertama, budaya Mapalus. Mapalus adalah suatu ungkapan yang bermakna bekerja sama untuk mewujudkan sesuatu yang baik. Berasal dari istilah bekerja di kebun (ma’ando) di mana para pekerja rame-rame mengerahkan tenaga (palus) untuk menggarap kebun sehingga bisa menghasilkan sesuatu. Mapalus dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki semangat kerja keras dan spiritnya adalah demi untuk membantu orang lain. Itu sebabnya spirit Mapalus dipakai dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Budaya Mapalus ini bahkan diklaim memiliki kelebihan. Menurut buku The Mapalus Way, mapalus sebagai sebuah sistem kerja memiliki nilai-nilai etos seperti, etos resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong royong, good leadership, disiplin, transparansi, kesetaraan dan trust.[1] Di tengah tantangan dunia yang semakin individualistis dan egois yang tak akan terelakkan mempengaruhi setiap orang Minahasa baik di daerah maupun di luar daerah maka spirit Mapalus ini kiranya akan tetap mempersatukan dan mengeratkan persaudaraan tou Minahasa.
Kedua : I Yayat U Santi! Terus terang cukup sering baca kalimat ini tapi nggak tau artinya. Bersyukur saat mau nulis tentang artikel ini ada Mr Google yang menampilkan referensi tentang arti kata ini. “I Yayat U Santi! “, adalah ekspresi yang dilontarkan oleh 'leader' dari para petarung atau prajurit yang menarikan tarian perang yaitu tari Kabasaran. Ekspresi itu bermakna secara literal “Angkat dan acungkan senjatamu!”.[2] Ini diungkapkan pastinya dalam konteks perang bukan hanya sebagai perintah atau komando tetapi juga untuk mengobarkan semangat untuk menghadapi musuh, yang disambut dengan teriakan “Yohooi!” oleh para prajurit. Ungkapan ini untuk menghalau kegalauan dan kegentaran menghadapi lawan. Makna ungkapan itu kalau ditarik pada jaman sekarang berarti spirit atau semangat untuk berjuang menghadapi tantangan, semangat untuk maju dengan penuh keberanian! Dengan kata lain ini adalah suatu prinsip untuk tegar, maju menghadapi rintangan dan mengalahkan tantangan. Lawan atau tantangan saat ini adalah kebodohan, kemabukan, korupsi, kemalasan yang bisa melanda insan Minahasa. Spirit ini harusnya dimiliki anak-anak muda masa kini untuk berani menghadapi realita dan tantangan hidup dengan penuh keberanian dan ketegaran, bukannya melarikan diri dari realita dan galau dengan ngefly atau teler!
Ketiga, Pengucapan! Walaupun kata ini diserap dari bahasa Malayu atau Indonesia tapi spirit ini begitu kental dalam budaya Minahasa. Yang saya maksudkan bukan hanya acara sekali setahun yang dirayakan waktu selesai panen tetapi semangat ini dapat dilihat dalam respon orang Minahasa sehari-hari. Orang Minahasa punya suatu tradisi untuk mengadakan syukuran mulai dari 'rumambak' alias nae rumah baru, baptisan, hari ulang tahun, ulang tahun perkawinan dan lain sebagainya. Spirit yang ada dalam diri orang Minahasa adalah bahwa hidup itu harus dirayakan dengan sesama yang didasari dalam pengakuan akan berkat dan anugerah Tuhan. Ekpresi pengucapan itu sendiri adalah suatu selebrasi hidup, suatu perayaan syukur yang benar-benar menjiwai orang Minahasa. Tidak heran dalam acara kedukaan ada acara “Rumame” atau”Brantang” di mana orang-orang membawa makanan untuk dinikmati bersama keluarga yang berduka. Keluarga yang berdukapun akan menyediakan tempat dan so pasti makanan untuk orang-orang dalam jumlah yang mampu disediakan. Inilah spirit ucapan syukur. Dalam suka maupun duka orang Minahasa bersyukur. Puncak ucapan syukur tradisional itu adalah “Pengucapan” yang di adakan pertengahan tahun. Kegiatan ini menjadi kegembiraan dan sukacita yang dimulai dari mempersembahkan hasil panen di Gereja dan setelahnya beralih pada acara di rumah-rumah yaitu dengan bersantap ria makanan khas Minahasa!
Keempat, tarian : Tari Maengket. Tarian maengket adalah tarian yang berpadu dengan musik dan nyanyian bersama. Sejumlah pengamat kesenian bahkan melihat maengket sebagai satu bentuk khas sendratari berpadu opera.[3] Tari Maengket adalah tarian khas Minahasa yang terkait dengan pertanian. Tarian ini jelas merupakan ekspresi syukur kepada Tuhan dan dilakukan pada saat panen sedang berlangsung. Ekspresi tarian yang dilakukan sebagai ungkapan syukur atas kelimpahan panen ini disebut Maowey yang dijadikan babak pertama dalam tarian Maengket. Babak keduanya adalah Marambak yaitu tarian dalam rangka pesta syukur atas rumah baru sekalian menguji kekuatan rumah baru tersebut. Rumambak juga merupakan spirit gotong royong dalam rangka membangun rumah baru tersebut. Sedangkan Lalayaan adalah tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa yang tujuannya dulu mencari jodoh. Tari Maengket bahkan menjadi inspirasi grup pop-rock legendaris Indonesia, Koes Plus untuk menciptakan lagu berjudul “Mak Engket”. Lagu ciptaan Yok Koeswoyo ini dimuat dalam album Koes Plus Pop Melayu Volume 2 pada tahun 1974.[4]
Kabasaran adalah tarian khas para satria Minahasa dalam peperangan. Ciri khas tarian ini adalah para penari mengenakan kostum perang serba merah, mengangkat senjata parang atau tombak sambil melotot dan dengan wajah sangar membuat tarian ini nampak macho, kontras dengan sebagian besar tarian di daerah lain yang lemah nan gemulai. Kabasaran berasal dari kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang. Pengaruh bahasa melayu Manado lalu mengubah penyebutan menjadi “Kabasaran”, yang tidak memiliki hubungan dengan kata “besar”.[5] Tarian pada akhirnya di zaman Belanda tarian ini dipakai untuk menyambut pembesar atau tamu agung dan juga mengiringi kematian petinggi-petinggi adat. Ada yang menarik dari tari Kabasaran yaitu Kabasaran ini tak selamanya ditampilkan dengan garang karena ada babak selanjutnya para satria berekspresi ceria yaitu di babak Lalaya’an.
Kelima, kerajinan : Kain Tenun Minahasa. Tenun Minahasa sempat menghilang kurang lebih selama 200 tahun. Makanya kalau kain tenun Minahasa bisa muncul saat ini patut disyukuri dan harus dijaga jangan sampai hilang lagi. Adalah Thomas Sigar, disainer berdarah Manado yang mencoba mengembalikan kain tenun tradisional Minahasa ini. Kain tenun Minahasa ini ternyata menarik perhatian para selebritis yang juga ikut memakainya.[6] (Jadi Anda harus bilang “Wow”, dong! Tenun Minahasa memiliki keistimewaan karena “Tenun Minahasa”, memiliki motif yaitu Patola. Motifnya berbentuk geometris menyerupai sirip ular sawah yang dalam istilah Minahasa disebut patola. Pertanyaaannya, bisakah kain itu diproduksi massal dengan motif yang bisa dikembangkan tidak hanya ular Patola tapi mungkin saja motif Manguni, cengkih, Tarsius atau cakalang dengan harga yang terjangkau? Kalau batik saja bisa diproduksi massal dan dikenal sampai ke luar negeri, seharusnya perlu dipikirkan bagaimana bisa membuat produk ini dikenal dan dipakai oleh masyarakat dari semua kalangan di Minahasa. Selain kain bermotif patola, ada juga motif kain tenun yang kasar yang dipakai oleh pasukan Kabasaran.
Keenam, seni bangunan : wale Minahasa. Rumah adat Minahasa yang disebut wale atau bale berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu. Konstruksi rumah panggung ini memiliki latar belakang yang unik yaitu terdapat dua tangga di depan rumah dan tiang penyangga berjumlah 16 atau 18. Kelebihan dari rumah panggung Minahasa adalah sudah terbukti tahan gempa dan gampang sekali untuk bongkar pasangnya sehingga kalau dipindah-pindah sangat praktis. Ciri khas dari rumah adat Minahasa juga adalah warna kayunya dibiarkan secara alami jadi tidak dicat disentuh cat baik luar maupun dalam, jadi secara ekologi sangat ramah lingkungan. Kendati demikian rumah adat Minahasa laku diekspor ke manca negara, sampai ke Jepang dan Afrika!
Ketujuh, kuliner Minahasa: Masakan Minahasa terkenal cita rasanya yang super pedes dan eksotik. Orang Minahasa suka makan daging tapi juga diimbangi dengan sea food alias ikan serta sayur-sayuran yang menarik selera. Masakan khas Minahasa terutama daging memiliki keunikan baik jenisnya maupun cara pengolahannya. Selain itu masakan daging memiliki julukan khusus misalnya masakan daging anjing yaitu RW (Rintek Wu'uk alias bulu halus), wiyo'o itu daging babi hutan, kawok yaitu si Mickey Mouse alias tikus dan paniki yaitu Batman eh si kelelawar. Rasanya kalo sudah diolah oleh para koki Minahasa benar-benar lekker van houten alias enak gila :). Cara masaknya ada yang dimasukin di bambu dan dipanggang, kalau daging babi jadilah tinoransak. Daging babi yang dipanggang begitu saja jadilah ra’gey. Hm laper kalo membahas ini. Selain daging, masakan Minahasa ada yang terbuat dari batang pisang dan bambu muda. Belum lagi yang paling terkenal dan bisa dimakan semua orang yaitu bubur Manado. Makanan ringan juga sangat terkenal yaitu nasi jaha yang dipanggang di bambu, panada, cucur, bagea, halua dan lain-lain. Lalu ada gohu yang dibuat dari papaya yang diduetkan dengan kuah yang pedes. Esnya pake es brenebon, hm mantap kwa.
Kedelapan, musik : Kolintang dan Musik Bambu. Kedua jenis musik ini sangat atraktif dan menghasilkan suara musik yang khas. Kolintang yang berbahan dasar kayu dan musik bambu yang terbuat dari bambu tetapi sekarang ini dipadukan dengan alat music dari logam sehingga menjelma menjadi musik bambu klarinet. Kedua alat musik ini menjadi andalan Tou Minahasa dan sering ditampilkan dalam berbagai event. Kolintang dulunya juga sempat menghilang dari peredaran budaya Minahasa tapi akhirnya bisa dikembangkan lagi dan menjadi andalan budaya dalam bidang musik. Darimana asal nama musik kolintang? Pakar music kolintang Petrus Kaseke menyatakan bahwa nama kolintang berasal dari bunyi kayu yang dipukul menghasilkan suara “tong ting tang.”[7] Khusus untuk musik bambu klarinet, musik ini juga sudah cukup dikenal di manca negara. Bahkan salah seorang utusan dari Bill Clinton, mantan presiden USA pernah memesan khusus saksofon bambu khas Minahasa ini karena beliau sangat mahir memainkan saksofon.
Kesembilan, peninggalan arkeologi. Waruga merupakan kubur batu yang dipakai ratusan tahun yang lalu. Waruga yang artinya wale (rumah) dan ruga (raga) orang yang sudah meninggal terbuat dari batu besar yang dipahat. Keunikan waruga adalah terletak pada ukiran-ukiran yang bermotif tumbuhan, hewan atau bentuk geometri tradisonal lainnya. Benda-benda kuno lainnya seperti menhir dapat ditemukan di beberapa daerah di Minahasa. Menhir atau tugu batu yang memiliki sebutan pasak wanua atau batu baranak meruapakan suatu tanda pendirian suatu kampung. Selain itu ada juga peninggalan yaitu watu Pinawetengan, watu Rerumeran, watu Tiwa, watu Tumotowa. Pada batu-batu itu terdapat huruf-huruf kuno yang dikenal sebagai aksara Malesung yang diperkirakan umurnya lebih tua dari huruf Pallawa. Menurut David Lumoindong, aksara di watu Pinawetengan merupakan suatu deklarasi perdamaian, kebebasan, pembagian wilayah dan pemerintahan yang kuno. Ini berarti tou Minahasa zaman dulu udah mengenal yang namanya hidup berdemokrasi dan hak kebebasan yang termasuk paling tua di Nusantara (wikipedia).
Kesepuluh, tradisi hari besar. Selain Pengucapan, orang Minahasa yang umumnya beragama Kristen mengenal tradisi hari raya Kristen yang unik. Misalnya dalam memyambut hari besar seperti Natal dan Tahun Baru maka ada suatu tradisi yang berbeda dibanding tempat lain. Misalnya ada pemasangan lampion Natal serta pohon Natal jauh sebelum bulan Desember. Ketika masuk bulan ber-ber, September, Oktober, November maka sudah mulai diperdengarkan lagu-lagu Natal dan orang-orang sibuk membuat kue Natal. Ketika Natal dirayakan tidak hanya pada tanggal 25 tapi juga dibuatkan Natal kedua, yang kiranya hanya ditemui di Minahasa! Sama halnya dengan Tahun Baru juga ada Tahun Baru kedua serta Kuncikan yaitu minggu terakhir bulan Januari sebagai penutup tahun baru. Maka orang Minahasa di perantauan pasti tidak akan kehilangan momen langka seperti ini, sehingga Natal menjadi ajang pulang kampung sekalian berlibur seperti tradisi mudik pada Lebaran di Jawa. Pada hari Paskah juga sering diadakan pawai Paskah dan pemasangan lampion juga yang berbentuk salib.
Mengintegrasikan Budaya Dalam Pendidikan
Tak dikenal maka tak sayang, demikian juga pepatah ini berlaku dalam hal budaya. Generasi muda seringkali minim dalam pengetahuan tentang budaya karena itu menurut saya sekolah adalah tempat yang tepat untuk memperkenalkan budaya. Di sekolah kan ada muatan lokal dan seharusnya guru bisa memaksimalkan jam muatan lokal itu secara kreatif dan berkualitas. Jangan sampai anak-anak sekolah sekarang buta dengan budayanya sendiri bukan cuma dalam berbahasa 'tana’, tarian tetapi nilai-nilai luhur atau way of life dari orang Minahasa itu seharusnya diajarkan dan dikenalkan kepada generasi muda sehingga mereka tidak akan lupa identitas atau jati dirinya. Jangan sampe anak-anak muda Minahasa bertanya,”Maengket”, itu apa ya? Salah satu cara yang bisa dipakai yaitu dengan mengadakan acara “Minahasa Week,” di sekolah atau Pekan. Nah, lomba-lomba dalam rangka mempromosikan budaya Minahasa bisa ditampilkan. Mulai dari lomba tari, pidato, menulis, busana atau disain busana daerah sampai lomba memasak masakan Minahasa a la Master Chef.
Memanfaatkan Dunia Digital
Budaya Minahasa apabila diekspos melalui dunia digital akan bisa menjangkau lebih luas terutama generasi muda. Misalnya, bahasa tana’ di Minahasa yang lama-kelamaan mulai ditinggalkan karena para penuturnya sudah tua dan orang muda tidak diajari atau malas plus gengsi memakainya. Salah satu cara yang bisa dipakai adalah dengan memanfaatkan sosial media. Caranya seperti yang pernah saya temui adalah dengan memakai bahasa daerah dalam forum atau group di sosial media Untuk tarian, salah satu cara untuk memperkenalkan tarian dalam skala nasional atau dunia misalnya membuat tarian massal atau flash mob. Misalnya membuat tarian maengket massal yaitu melibatkan massa yang besar, direkam dan diedit dengan professional lalu diupload dengan berbagai bahasa sehingga memudahkan pencarian. Penulis pernah mencari di youtube tarian massal maengket yang katanya memecahkan rekor Muri karena melibatkan 6000-an penari, sayangnya tidak ketemu. Untuk rekor tarian massal daerah ternyata tarian Maengket sudah kalah sama daerah lain yang melibatkan sampai 8000-an penari. Intinya bukan hanya masalah jumlah rekor peserta tapi bagaimana kareografi dan pengambilan gambar yang bagus akan membuat tarian Maengket enak dipandang. Ada yang mau membuat flashmob atau tarian massal yang lebih bagus lagi? Video klip memang adalah cara yang ampuh untuk mempromosikan budaya karena budaya saat ini adalah budaya visual.
Suatu kali saya tertegun dengan suatu klip di youtube tentang video makanan orang Minahasa yang justru dibuat dan diupload oleh orang bule. Isi videonya tentang berbagai menu makanan khas MInahasa dan videonya diambil di rumah makan yang sederhana. Saya cuma mikir kok malah orang bule yang begitu antusias dengan budaya khas Minahasa dalam bentuk kuliner sedangkan orang Minahasa sendiri belum terpikir untuk meng-uploadnya Cuma meng-upload di puru doang, ha ha. Ini suatu contoh kecil saja, jangan sampe budaya Minahasa lalu diklaim oleh orang lain terutama orang Malaysia baru orang Minahasa ba demo! Ya ini Cuma pengandaian saja yang agak lebay. Pastikan bahwa kita bangga dengan budaya Minahasa dan terus melestarikan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pemanfaatan media teknologi saat ini.
Penutup
Dengan pengenalan sekilas akan budaya Minahasa kiranya akan membuat kita semakin bangga dengan budaya kita sendiri. Apalagi dengan pengetahuan akademik yang makin tinggi yang dimiliki tou Minahasa sepatutnya mendorong kita untuk lebih mengapresiasi budaya Minahasa. Dengan spirit yang ada pada tou Minahasa ini maka kelangsungan budaya itu tidak perlu menggantungkan pada usaha pemerintah. Pelestarian budaya itu adalah tanggung jawab kita semua, iyo toh?!.
Saya pribadi juga bangga dengan marga atau fam yang saya miliki saat ini yaitu Rondonuwu. Marga Minahasa itu unik karena nama-nama fam itu menyandang arti, mirip dengan pemahaman nama orang yahudi bahwa nama itu memiliki arti dan mencerminkan kepribadian. Fam "Rondonuwu" itu berarti "berbicara yang lurus", arti nama ini saya selidiki sendiri pada waktu saya masih SD dan hal itu terngiang terus sampai sekarang. Saya bangga dengan fam ini dan tidak terpikir untuk menggantinya dengan "Messi, Beckham atau Guardiola, he he. Saya akan tetap bangga dengan nama ini karena turut mengingatkan akan jadi diri saya sebagai tou Minahasa kapanpun dan di manapun. Makanya fam ini pula yang saya ikut lestarikan pada dua anak saya karena mereka juga adalah tou Minahasa kacili :). So, tua muda besar kecil tinggi pendek kurus gode lurus dengan ba olven, "Mari jo jaga torang pe budaya, mari jo torang lestarikan budaya Minahasa".
image : beetravel.beesolution.net
___________________________________
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Mapalus.
[2]http://www.theminahasa.net/social/stories/iyayat.html
[3]http://kolintang.blogspot.com/
[4]http://www.indonesiawonder.com/id/tour/wisata-budaya/tari-maengket
[5]http://id.wikipedia.org/wiki/Kabasaran.
[6]http://warisanindonesia.com/2011/05/tenun-minahasa-setelah-200-tahun-hilang/
[7]http://kolintang.blogspot.com/2010/02/standarisasi-alat-musik-kolintang.html.
Free download Alkitab bahasa Tountembouan : Download
[2]http://www.theminahasa.net/social/stories/iyayat.html
[3]http://kolintang.blogspot.com/
[4]http://www.indonesiawonder.com/id/tour/wisata-budaya/tari-maengket
[5]http://id.wikipedia.org/wiki/Kabasaran.
[6]http://warisanindonesia.com/2011/05/tenun-minahasa-setelah-200-tahun-hilang/
[7]http://kolintang.blogspot.com/2010/02/standarisasi-alat-musik-kolintang.html.
Free download Alkitab bahasa Tountembouan : Download