The Masker : Pahlawan Bertopeng

The Masker : Pahlawan Bertopeng

Pahlawan bertopeng, adalah sosok pahlawan yang pake topeng dalam menjalankan aksinya (ya iyalah). Mereka adalah penolong sesama dan pembela kebenaran. Lalu kenapa pake topeng? Biasanya untuk menutupi dirinya agar terkesan misterius dan membuat penasaran. Ada lagi yang pake topeng untuk membuat penampilan semakin keren dan cool. Tetapi sejatinya pahlawan bertopeng adalah pahlawan yang sengaja menyembunyikan identitas dirinya atau menutupi dirinya karena dia tidak ingin menonjolkan dirinya sendiri. Dia tidak mau pamer atau menunjukkan sosok sesungguhnya.
     Kecenderungan orang pada masa kini dalam melakukan aksinya ingin dilihat dan diketahui orang banyak. Bahkan dalam kegiatan sosial dibuat sedemikian rupa agar sosok pahlawan itu benar-benar menjadi sorotan. Lalu apa yang dicari pahlawan seperti ini? Publisitas media dan popularitaslah yang menjadi tujuan. Aksi kemanusiaan itu hanya sarana agar mendapat nama dan pujian serta simpati publik. Inilah yang namanya pahlawan kesiangan. Mereka mungkin punya media sendiri, punya web sendiri, punya juro kamera dan wartawan sendiri yang mengekor ke mana sang pahlawan itu beraksi. Hal seperti ini marak terjadi pada waktu pemilihan caleg dan kampanyenya juga amat menyolok. Tetapi setelah terpilih dan nggak terpilih, ke mana gerangan para pahlawan ini?
     Pahlawan bertopeng tidaklah demikian. Sosoknya seringkali tidak terdeteksi. Dia menghindari publisitas murahan. Dia berusaha menolong dan membantu dengan tulus hati tanpa ada embel-embel tertentu dan keinginan untuk mendongkrak popularitas. Nama dan ketenaran tidak dicarinya. Yang dicarinya adalah orang-orang yang membutuhkan pertolongan, bukan berita utama, wartawan elektronik dan video klip yang menonjolkan dirinya. Pahlawan bertopeng itu tidak mau pamer dirinya, kekayaannya atau popularitasnya. Dia tidak mau pamer cincinnya, kedudukannya, gelarnya atau pangkatnya.
     Pahlawan bertopeng ini sangatlah langka karena mereka menolak kalau diekspos di media. Makanya jumlah mereka sangat sedikit. Mereka memberi secara diam-diam dan seringkali mereka dislahpahami. Kelihatan mereka tidak mau menonjolkan dirinya makanya dianggap tidak mau menolong dan membantu. tapi mereka punya agenda dan aksi yang jelas. Mereka punya target dan mereka bukan tipe pahlawan yang banyak bicara. Mereka tidak pamer berapa jumlah sumbangan mereka. Mereka tidak pamer segala aksi dan kegiatan kemanusiaan yang mereka sudah lakukan. Mereka menutup diri terhadap publikasi atas segala kegiatannya tetapi mereka sangat tyerbuka kalau dimintai tolong. Mereka selalu sedia dan mengulurkan tangan tanpa prosedur yang berbelit-belit. Tak pandang bulu, tempat dan golongan, dan tanpa sorotan kamerapun mereka ttepa menjalankan aksinya.
     Pahlawan ini antara ada dan tiada. Seolah hanya fiksi belaka tetapi eksistensi mereka sebenarnya ada. Hanya mereka lagi-lagi tidak mau menonjolkan diri. Mereka diam-diam beraksi tapi aksi mereka nyata. Mereka bersembunyi dan menyembunyikan identitas karena yang mereka utamakan adalah orang yang membutuhkan pertolongan. Bagi mereka pelayanan bukanlah entertainment diri mereka dan akhirnya mengeksploitasi aksi itu untuk mendongkrak popularitas. Tujuan mereka hanyalah menolong. Itu saja.

MANUSIA ‘SAMPAH’

MANUSIA ‘SAMPAH’

Tulisan kali ini, ingin saya awali dengan sebuah kisah. Suatu ketika, ada seorang manajer wanita yang tak pernah puas dengan apa pun. Mukanya selalu cemberut. Tatkala orang begitu senangnya, dia selalu datar-datar saja. Ketika orang lain bisa bergembira mampu mencapa prestasi yang begitu hebatnya, dia selalu mengatakan, "Ah, nggak hebat kok!" Dia pun selalu mengeluh, bahkan sinis.
Suatu ketika, tibalah saatnya dia akan pulang kampung. Sudah begitu lama dia idamkan. Dia pun merasa, saatnya untuk menunjukkan prestasinya kepada orangtuanya.
Singkat cerita, setelah sekian lama, dia pun bisa menjumpai orangtuanya lagi. Saat bertemu, dia pun mulai bercerita tentang kesuksesannya mendapatkan posisi manajer. Rupanya, reaksi ibunya hanya datar-datar saja sambil berujar, "Lha, cuma jadi manager aja udah senang. Kalau jadi direktur baru hebat!". Malam itu, si manajer itu menangis sesungukan seperti masa kecilnya lagi.
Nah, sekarang, kita jadi mengerti asal muasal perilaku si manajer yang negatif. Tak heran, jika saya sering berucap, "Kalau pikiran kita isinya adalah sampah. Tak mengherankan kalau yang keluar pasti juga sampah!". Itulah tipe manusia yang akan kita bicarakan pada kesempatan ini.
Kisah manusia sampah
=============
Nah, pernahkah Anda bertemu orang yang akhirnya membuat Anda mengalami 'luka batin' karena tuntutan ataupun kritikan pedas tanpa kenal ampun yang pernah mereka berikan? Yang jelas, manusia ini umumnya memang agak menjengkelkan.
Mereka jarang terpuaskan, tidak pernah menghargai bahkan tak tampak bahagia dengan apa pun yang mereka terima. Mereka pun jarang memperlihatkan apresiasi pada apa yang diperolehnya.
Umumnya, meski orang lain di sekitarnya telah berusaha melakukan yang terbaik baginya, dia hanya akan bersikap 'biasa-biasa' saja bahkan cenderung sinis. Itulah jenis manusia yang secara ekstrem, saya sebut dengan manusia sampah.
Hati-hati! Jangan bersikap negatif dulu, dengan istilah ekstrem 'manusia sampah' yang saya pergunakan di sini. Tentu saja ada alasannya.

Pertama, saya teringat dengan salah satu kiasan yang pernah dipergunakan oleh seorang penceramah rohani terkenal, ketika disebutkan, "Kalau teko isinya air, keluarnya ya air tetapi kalau isinya sampah, maka keluarnya juga sampah".
Kedua, sama seperti kisah di atas, saya menemukan bahwa banyak orang yang sangat negatif hidupnya karena masa lalunya yang tragis, traumatis ataupun banyak berisi 'sampah-sampah' yang sebenarnya tidak dikehendakinya tetapi terus ditabung oleh orang-orang di sekitarnya.
Tak mengherankan, jika akhirnya orang semacam ini akhirnya penuh dengan tabung sampah di pikirannya. Dari sinilah, berawalnya manusia-manusia negatif yang sering kali amat mengganggu dan bisa merampok kebahagiaan ataupun kebanggaan kita.



Berempati
======
Memang tidak mudah untuk hidup bersama mereka, tetapi sulit bukan berarti tidak mungkin. Sebab, pada dasarnya, orang yang demikian bukannya harus dibenci, tetapi justru dikasihani. Kenyataannya, mereka memang betul-betul butuh untuk dikasihi.
Itulah yang selama ini mereka tidak peroleh dalam hidupnya, sehingga banyak 'sampah' yang keluar dari kehidupan mereka. Perhatikan beberapa contoh nyata berikut ini.
Saya pernah mempunyai seorang rekan yang suka mencela. Bahkan, kesannya ia suka mencari-cari kesalahan para stafnya ataupun orang-orang di kantor. Sedikit saja tidak beres, maka ia bisa membentak-bentak dan sangat penuntut.
Orang-orang di kantor amat takut kepadanya. Namun yang saya saksikan adalah seorang yang stres berat. Bahkan, pernah mencoba mengakhiri hidupnya beberapa kali.
Di sisi lain, seorang rekan trainer pernah bercerita tentang seorang peserta yang 'tak pernah puas' dengan apa pun yang diterimanya. Tatkala semuanya menganggap sangat bagus, baginya adalah 'biasa-bisa saja' bahkan cenderung buruk.
Ia selalu mencari titik lemah. Ketika, ditilik masa lalunya, ternyata ia adalah bagian dari orang buangan yang tidak terpakai di kantor karena sikapnya yang cenderung negatif. Isi facebooknya pun cenderung kalimat-kalimat yang negatif.
Dari kedua kisah di atas kita bisa melihat bahwa persoalan sebenarnya terletak pada diri mereka. Sayangnya mereka sering kali tidak pernah sadar, ataupun tidak pernah mau mengakuinya. Bahkan, dalam banyak situasi, mereka mengatakan bahwa mereka hanya berusaha untuk bersikap 'kritis'.
Namun, tentu saja, sikap kritis tidaklah sama dengan bersikap negatif terus-menerus. Kalau diperhatikan, yang kita lihat hanyalah sikap 'tak puas' terus-terusan. Komentar mereka pun, jarang sekali merupakan solusi ataupun sesuatu yang konstruktif.


Bersikap positif
=========
Pertama, menyadari bahwa manusia sampah tidak valid pendapatnya, akan sangat membantu kita untuk menyikapi mereka. Baik kata-kata, ucapan maupun perilaku mereka sering kali muncul dari persoalan dan luka-luka yang mereka miliki. Jadi, sebenarnya kesalahan dan kekurangan yang ia lihat hanyalah jadi pemicu bagi sampah-sampahnya untuk 'ditumpahkan' keluar.
Tentu bukanlah sikap yang bijak tatkala kita menjadi kehilangan motivasi, frustrasi ataupun patah arang akibat kata-kata mereka. Menyadari bahwa pendapat mereka bisa sangat bias, akan banyak membantu kita untuk tetap tegar menghadapi celaannya.
Kedua, perasaan kita akan lebih lega, tatkala kita menyadari bahwa sikap mereka yang tidak pernah puas, tidak pernah menghargai, selalu akan kena batunya. Masalahnya, di mana pun mereka, mereka tidak akan pernah merasa bersyukur, puas dan bahagia, sebab mereka akan selalu menuntut di mana pun mereka berada.
Kadang, tuntutan mereka bisa berhasil. Namun dunia ini bukanlah pion-pion catur yang bisa digerakkan seenaknya. Dunia punya logika sendiri yang berjalan menurut hukumnya. Akibatnya, ketika tidak mencapai dan tidak terpenuhi apa yang mereka inginkan, mereka menjadi frustrasi dan marah-marah.
Pada akhirnya, mereka pun akan mencari korban lain yang bisa dijadikan sasaran pelampiasan ketidakpuasannya. Dengan demikian, sungguh kita bisa menyadari, betapa perlu dikasihaninya orang semacam ini.
Terakhir, sebenarnya sampah pun bisa menjadi pupuk, kalau diperlakukan secara benar. Begitu pula orang-orang yang masa lalunya penuh sampah ini. Sebenarnya mereka bisa menjadi sumber daya yang berharga.
Meskipun, kritik-kritik mereka tidak terlalu valid untuk didengarkan, tetapi mereka tetaplah bisa menjadi orang yang selalu membangunkan kita untuk terus memberikan yang terbaik.
Di sisi lain, kita pun dapat menolong manusia sampah semacam ini sehingga bisa membingkai ulang sampah-sampah yang ada di pikirannya menjadi sumber daya yang berharga.
Masalahnya, dibutuhkan orang yang mau memahami serta tulus menerima mereka. Dalam realitanya, itulah yang tersulit karena yang berusaha menolongnya pun, diserang oleh mereka!
Anthony Dio Martin

Redefinisi pahlawan

Redefinisi pahlawan

Apa kriteria pahlawan?  Pemerintah kita sudah menetapkan kriteria untuk menjadi pahlwanan nasional. Ada tujuh kriteria pahlawan nasional:
Pertama, harus warga negara Indonesia, yang sudah memiliki gagasan atau telah berjuang di bidang politik atau bidang lain, yang punya dampak nasional. Kedua, berjuang sepanjang hidupnya. Artinya dari dewasa sampai meninggal harus dalam keadaan berjuang. Ketiga, harus memiliki moral dan ahlak yang tinggi.
Lalu, tidak pernah menyerah kepada musuh di dalam perjuangannya. Selanjutnya, harus konsisten dalam semangat kebangsaan atau nasi onalisme. Terakhir, tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak perjuangannya.

Wkkks, berat. Ada yang memenuhi syarat di pertama dan kedua tapi jatuh di yang ketiga. Kalau seperti itu bagaimana ya? Dan kata seorang pengamat sejarah, belum tentu yang dimakamkan di taman makam pahlawan nasional itu betul-betul memenuhi kriteria seorang pahlawan, mungkin ada juga yang koruptor di masa hidupnya. OK, saya tidak akan membahas kriteria pahlawan nasional apalagi gelarnya diberikan ketika seseorang sudah almarhum/almarhumah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cetakan IX, 1997), kata 'pahlawan' diartikan sebagai 'orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran' atau 'pejuang yang gagah berani'. Ada tiga unsur yang penting di sini yaitu, keberanian, pengorbanan dan membela kebenaran. Dalam konteks dulu, model pahlawan ini adalah khas militer atau peperangan fisik, tetapi kalau diadopsi dalam konteks sekarang tentunya bisa diterapkan di segala profesi dan di segala aspek hidup kita.   Dengan berbekal tiga unsur ini sebenarnya kita bisa menjadi pahlawan.....

Sebenarnya banyak tokoh-tokoh pejuang masa kini yang bisa dikategorikan pahlawan karena jasa-jasa mereka. Mereka bukan hanya berjuang dan mengharumkan negara dalam bidang politik tetapi juga ekonomi, pendidikan, teknologi, budaya dan sebagainya.  Ada yang tengah berjuang saat ini seperti KPK misalnya...



Memperingati hari pahlawan jelas adalah keharusan, tetapi bukan sekedar bernostalgia dan mengingat para pahlawan masa lalu. Kita perlu melihat para pahlawan masa kini. Sekarang para pahlawan itu sedang berjuang bagi kebenaran, berjuang menghadapi kriminalisasi mungkin, berjuang menghadapi sandiwara dan rekayasa hukum, berjuang menghadapi mafia-mafia yang bak gurita berusaha mencengkeram para pencari keadilan dan kebenaran. Adalah kewajiban pemerintah untuk mendukung para pahlawan yang tengah berjuang dan berkorban bagi bangsa, bagi kebenaran dan keadilan. Mungkinkah?



Kembali ke definisi pahlawan, konteksnya adalah perjuangan dan peperangan.  Betul,  kita juga harus menyadari bahwa hidup ini selain perjuangan, hidup ini juga adalah peperangan. Peperangan melawan godaan, peperangan melawan Setan, melawan hawa nafsu. Tepat sekali ungkapan Amsal 16:32 berkata, "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang merebut kota ". Unsur kepahlawanan di sini selain kesabaran juga adalah menguasai diri. Menguasai diri berarti menaklukan pementingan diri, keegoisan, keangkuhan dan keserakahan alias ketamakan. Pementingan diri dan konco-konconya  inilah yang menjadi bibit korupsi, tindakan yang sewenang-wenang, pemutarbalikan,  rekayasa dan kriminalisasi. Menguasai diri, adalah menguasai keinginan daging serta hawa nafsu, kemarahan, kebencian dan sebagainya. Ini adalah tantangan bagi kita semua. Mampukah kita melewati ujian hidup, melewati tantangan dan godaan yang kerap muncul dari diri sendiri? Semoga....

TIDAK MAU MENGALAH

TIDAK MAU MENGALAH

Seorang anak lelaki disuruh ayahnya pergi ke kota untuk membeli tepung roti.
Anak lelaki itu segera berangkat berjalan kaki. Jarak antara desa tempat
tinggalnya dan kota cukup jauh juga. Di perjalanan ia harus melewati sebuah
jembatan kecil.
Kini ia tiba di ujung jembatan kecil itu. Di seberang jalan ia melihat
seorang anak lelaki lain yang berjalan ke arahnya. Mereka berdua sama-sama
berjalan di jalur yang sama. Hingga tepat di tengah-tengah jembatan itu
mereka saling berhadap-hadapan. Keduanya berhenti dan berpandangan. Anak
lelaki itu berpikir, "Wah, kurang ajar sekali anak ini. Dia tidak mau
mengalah dan memberikan jalan padaku."
Di saat yang sama, anak lelaki lain itu berpikiran hal yang sama,
"Seharusnya dia yang mengalah dan memberikan jalan padaku."


Lama keduanya saling berdiri di tengah jembatan tanpa ada satu pun yang mau
mengalah dan memberikan jalan. Keduanya sama-sama berpikir bahwa "Aku harus
berteguh hati dan kuat pendirian." Keduanya saling berpandangan tanpa ada
satupun yang berbicara atau bergerak.
Siang pun tiba. Di rumah, ayah dari anak lelaki yang hendak pergi ke kota
itu mulai cemas memikirkan mengapa anaknya belum juga kembali. Sang ayah
lalu bergegas menyusul anaknya ke kota. Hingga akhirnya ia sampai di
jembatan dan melihat ke dua anak lelaki itu saling berdiam dan
berhadap-hadapan. Sang ayah berteriak pada anak lelakinya, "Wahai anakku,
mengapa engkau berdiri di situ?"
Anak lelakinya menjawab, "Anak lelaki ini menghalangi jalanku. Ia sama
sekali tidak mau mengalah. Bagaimana aku bisa berjalan jika ia menutup
jalanku?"
Sang ayah mulai kesal. Ia lalu berkata pada anaknya, "Sudahlah anakku,
sebaiknya kau minggir dan segera pergi ke kota untuk membeli tepung. Biar
ayahmu ini yang berdiri di sini menggantikanmu dan tidak memberikan jalan
pada anak lelaki yang tidak tahu diri ini!"
Teguh hati memang boleh. Sesekali mengalah demi tercapainya
tujuan bukanlah hal yang tercela. Tetapi bukan berarti lalu kita harus
menjadi tembok bagi tercapainya tujuan orang lain bukan?
(Disadur dari: Chinese Wisdom)

Have a Positive day!

Objects behaviour inheritance with RSpec

About half of a year ago I was writing about object interface and Liskov Substitution Princeple. In short: Any class instance that extends the base class should pass all unit tests behaviour tests written for base class instance. It was a surprise for me that this concept has already been implemented in RSpec.


Nilai Kehidupan

Nilai Kehidupan

Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walapun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti.
“Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini,” katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. “Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini.”
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, “Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya.”


Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, “Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini.”
Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, “Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain”.
Segera timbul kesadaran baru. “Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain”.
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.
Teman-teman yang luar biasa,
Kalau kita mengisi kehidupan ini dengan menggerutu, mengeluh, dan pesimis, tentu kita menjalani hidup ini (dengan) terasa terbeban dan saat tidak mampu lagi menahan akan memungkinkan kita mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri.
Sebaliknya, kalau kita mampu menyadari sebenarnya kehidupan ini begitu indah dan menggairahkan, tentu kita akan menghargai kehidupan ini. Kita akan mengisi kehidupan kita, setiap hari penuh dengan optimisme, penuh harapan dan cita-cita yang diperjuangkan, serta mampu bergaul dengan manusia-manusia lainnya.
Maka, jangan melayani perasaan negatif. Usir segera. Biasakan memelihara pikiran positif, sikap positif, dan tindakan positif. Dengan demikian kita akan menjalani kehidupan ini penuh dengan syukur, semangat, dan sukses luar biasa!
Salam sukses luar biasa!!!
-Andrie Wongso

Servant Leader

Servant Leader

Ada anggapan bahwa menjadi bos atau pemimpin itu paling enak. Makanya di negeri ini banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin mulai dari caleg sampai mau jadi bupati, camat, lurah sekalipun. Padahal kalau menyadari arti kepemimpinan yang sebenarnya tidaklah semudah dan seenak yang dikira orang. Melihat pelantikan para pemimpin di negara kita terbersit harapan dan keraguan. Harapan bahwa para pemimpin akan membawa perubahan yang lebih baik dan rasa ragu karena melihat sepertinya perubahan kepemimpinan belum tentu menjamin akan terjadi perubahan yang lebih baik lagi. Harapan bahwa perubahan di negara kita itu terjadi secara nyata sebenarnya dimulai dari para pemimpin itu sendiri.

Kepemimpinan yang macam apa atau model apa yang bisa menjadi model dan patut dipraktekkan oleh para pemimpin kita? Masih ingat lagu "Tak gendong", kalau diinterpretasikan dalam konteks kepemimpinan berarti berarti mau menyingsingkan lengan dan mengulurkan tangan tanda untuk membantu dan mau menolong. Di sini aku hadir dan siap membantu. Tak gendong sebenarnya adalah cerminan atau refleksi dari Servant Leadership atau kepemimpinan pelayan. Adalah pakar manajemen, Robert Greenleaf, mengembangkan konsep yang pertama ke dalam dunia sekular. Pada tahun 1970 Greenleaf menulis sebuah buku manajemen berjudul 'The Servant as Leader' (pelayan sebagai pemimpin). Ide pokoknya adalah, seorang pemimpin besar mula-mula harus melayani orang lain, dan bahwa kenyataan yang sederhana ini merupakan inti dari kebesarannya sebagai seorang pemimpin. Dua ribu tahun yang lalu Kristus sudah memperkenalkan konsep kepemimpinan yang melayani "Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya" (Markus 10:43-44).

Kepemimpinan pelayan melihat kedudukan itu sebagai kesempatan untuk melayani sebesar-besarnya bukannya dilayani sebesar-besarnya. Memimpin berarti melayani untuk kepentingan sesama, bukan untuk kepentingan diri sendiri. Mengutamakan atau mendahulukan kepentingan orang lain dari pada dirinya sendiri. Kepemimpinan hamba jelas bukan untuk mencari atau mengambil kesempatan atau aji mumpung. Mumpung berkuasa lalu jadi lupa diri, lupa tugas dan tanggung jawabnya. Mumpung berkuasa maka segala sesuatu dikuasai termasuk kekayaan negara dikuasai alias diembat. Mumpung berkuasa terus menekan yang di bawahnya erat-erat. Konsep mumpung disini harus dibalik. Mumpung itu harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk melayani bukan sebaliknya untuk dilayani!

Kepemimpinan pelayan melihat kedudukan itu sebagai tanggung jawab. Bukan sekedar kekuasaan atau berada di posisi puncak atau urutan yang tertinggi. Kepemimpinan hamba bukannya memerintah secara otoriter lalu menguasai dan mengeksploitasi. Kepemimpinan hamba adalah kepemimpinan yang menyadari tugas dan tanggung jawab besar yang diembannya. Dengan kedudukan yang besar maka tanggungjawabnya semakin besar pula. Kepemimpinan hamba bukan sekedar tebar janji, tebar pesona atau mencari popularitas tetapi mau menebarkan kesejahteraan, menegakkan keadilan dan menjaga integritas, dan itu adalah tanggung jawab yang sangat besar.....

Kepemimpinan pelayan berarti mau repot, mau kerja keras, ada pengorbanan besar di dalamnya. Di tengah dunia yang serba ekspres dan instant seringkali orang mencari kemudahan dengan alasan kalau bisa lebih gampang, kenapa harus mempersulit diri? Tetapi filosofi ini menjadikan orang enggan untuk peduli dan mau berkorban untuk sesama. Mau repot berarti harus keluar dari zona nyaman kita dan berada di zona yang nggak nyaman. Kepemimpinan hamba itu berarti ada resiko di mana kita harus mengorbankan tenaga, istirahat waktu dan kenyamanan kita. Kepemimpinan pelayan adalah kepemimpinan yang peduli dan mau melihat rakyatnya 'ke mana-mana'...

Kepemimpinan pelayan amat mungkin dilakukan, maka harapan kita para pemimpin—eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dapat mewujudkan dengan spirit tak gendong sambil menyanyikan I love you full buat rakyatnya, tanda siap mengabdikan diri, memimpin sebagai pelayan.

“NEUROLOGIS” KEBODOHAN

“NEUROLOGIS” KEBODOHAN

Sebelum saya menjelaskan apa itu neurologis kebodohan dan bagaimana terbentuknya, serta dampaknya terhadap pengembangan diri, saya terlebih dahulu menjelaskan arti kata neurologis itu sendiri. Yang saya maksud dengan neurologis itu berhubungan dengan syaraf otak. Dalam hal ini bagaimana syaraf otak bekerja dalam merespon sebuah stimuli dari luar. Otak kalau dirangsang (distimuli) akan bekerja sesuai dengan pola yang sudah terlatih (kebiasaannya).

Contoh yang paling klasik adalah penelitian Pavlov terhadap anjing-ajingnya. Dalam percobaannya, Pavlov memberikan makanan kepada hewan piaraannya itu. Setiap kali ia memberikan makanan kepada anjingya, ia membunyikan bunyian tertentu, katakanlah kentongan. Dengan bunyi kentongan tertentu, anjing-anjing sudah paham bahwa mereka mendapatkan makan. Begitu kentong dibunyikan anjing-anjing berdatangan.

Suatu kali, Pavlov membunyikan kentongannya dengan tidak membawa makanan anjing. Meski demikian, anjing-anjing tetap berdatangan dengan mengeluarkan air liur pertanda lapar. Itulah neurologis, syaraf secara otomatis merespon dengan pola tindakan tertentu (kebiasaan) karena diakukan berulang-ulang.

Pola kerja neurologis juga sama dengan apabila kita masuk ke dalam sebuah ruang gelap–sebuah kamar katakanlah—maka secara otomatis syaraf otak kita bekerja untuk segera mencari saklar lampu. Kerja otomatis syaraf kita pada saat masuk kamar gelap adalah tekan saklar lampu. Apabila suatu malam, tiba-tiba listrik mati secara otomatis kita mencari lilin atau korek. Korek bagi mereka yang biasa merokok, bagi yang tidak biasa mungkin lampu senter atau handphone. Pokoknya, syaraf akan menacari keotomatisannya.

Itulah neurologis, syaraf otak bekerja menurut program-program kebiasaannya secara otomatis. Masing-masing individu berbeda dalam merespon terhadap suatu hal yang sama di luar dirinya. Ada orang yang kalau lagi stres langsung istighfar dan berdoa mendekatkan diri pada Tuhannya, ada orang yang kalau lagi pusing malah lari ke sabu-sabu. Semua serba otomatis menurut kebiasaannya.

Perlu kita ketahui bahwa dalam alam pikir kita terdapat banyak sekali jalur neurologis yang serba otomatis. Dari jalur neurologis yang positif yang menjadikan seseorang cerdas, hingga jalur neurologis yang membodohkan. Jalur neurologist positif misalnya: waktu senggang berarti baca/belajar/nulis; sulit dalam belajar berarti harus belajar lebih tekun; masalah berarti kesempatan pendewasaan diri dan stres berarti mendekatkan diri kepada Allah. Jalur negatif seperti: ujian berarti nyontek, prestasi karir berarti jalan pintas, kuliah berarti gelar dan stres berarti sabu-sabu. Bila itu dilakukan secara otomatis, tanpa ada pertimbangan lagi, dan membiasa dalam diri seseorang maka disebut peristiwa neurologis.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan neurologis kebodohan berarti bagaimana syaraf kita membentuk jalur-jalur otomatis kebodohan (seotomatis pada saat kita masuk lamar gelap dan saklar lampu) sehingga kita menjadi tetap bodoh. Neurologis kebodohan bukan berarti syarafnya atau intelegensinya rendah, melainkan karena jalur-jalur otomatis yang keliru sehingga kita tetap bodoh.


Apabila kita bodoh akan suatu suatu hal, kemungkinan besar bukan karena tingkat itelegensia kita yang rendah, namun lebih karena pola kerja syaraf otak (neurologis) yang otomatis itu. Bukan karena tingkat intelegisia Anda yang “telmi” (telat mikir) sehingga Anda tidak bisa berbahasa Inggris misalnya, tetapi karena Anda sudah terlanjur membuat perangkap neurologis yang keliru atau membodohkan. Anda tidak bisa berbahasa Inggris—dan sejumah tidak bisa lainnya—bukan karena “lemot” (lemah otak) tetapi karena Anda sudah terlanjur membangun “jalur otomatis” untuk menghindari kesulitan belajar Bahasa Inggris. Kongkritnya, begitu Anda bertemu dengan pelajaran Bahasa Inggris otomatis menghindarinya dan mencari kegiatan lain yang sudah biasa dilakukan. Begitu seterusnya, sehingga menjadi pola kerja otomatis pikiran, seotomatis kamar gelap dan saklar lampu.

Bila jalan menghindar itu ibarat “jalur otomatis” menuju kebodohan, sudah berapa banyak jalur yang kita miliki? Semakin banyak jalur itu, maka semakin bodoh intelegensi Anda. Sebab, dengan jalur khusus neurologis itu nyaris menjadikan intelegensi Anda tidak pernah diberi kesempatan lagi untuk mengembangkan dirinya. Bagaimana itelegensi Anda akan bekembang kalau belum apa-apa Anda sudah menghindar dengan full speed melalui jalur khusus itu? Bagaimana kemampuan Bahasa Inggris Anda bisa berkembang kalau belum apa-apa Anda sudah lari kencang menghindarinya?

Seseorang menjadi lebih bodoh dari yang semestinya pintar tidak lain karena terlalu sering membangun jalur khusus kebodohan, atau neurologis kebodohan. Bukan saja kasus “bodoh” dalam bahasa Inggris saja, tetapi dalam banyak hal seseorang cenderung lebih banyak membangun jalur khusus neurologis kebodohan dari pada membangun jalur neurologis kecerdasan. Kita lebih suka menghindari kesulitan belajar, dari pada menghadapinya. Kita lebih suka membuat jalur kebodohan dengan cara menghindari kesulitan dari pada membangun jalan kecerdasan dengan dengan cara berdisiplin dan bertekun misalnya.

Bagaimana proses terjadinya jalur neurologis kebodohan dalam diri kita? Proses terjadinya neurologis kebodohan berawal dari pencarian jalan keluar (alternatif) yang aman dan nyaman dari setiap menghadapi masalah. Entah itu masalah belajar, atau masalah lainnya. Awalnya seseorang memang hanya mencari jalan alternatif dari sebuah kemelut kesulitan belajar Bahasa Inggris dengan cara membolos misalnya. Ternyata dengan cara seperti itu ia mendapatkan “nikmat” dan “manfaat” (tenang, tidak pusing), maka selanjutnya ia mengulang perilakunya. Terlebih banyak orang yang melakukannya, maka semakin termotivasi untuk mengulangnya.

Proses neurologis, baik neurologis kebodohan dan neurologis lainnya, identik dengan proses terjadinya neurologis kecanduan sabu-sabu. Berawal dari kemelut masalah, seseorang mencoba mencari jalan keluar. Ada jalan pintas yang menjadikan dirinya merasa “aman” dan “nyaman”, yakni sabu-sabu. Begitu datang masalah, ia mengulangi tindakannya itu. Frekuensi dan intensitas tindakannya semakin membekas seperti “jalan tol”, yaitu jalan otomatis ketika menghadapi masalah yang sama. Begitu masalah tiba, secara otomatis lari ke sabu-sabu.

Marden (2006) mengilustrasikan proses terbentuknya sebuah kebiasaan neurologis dengan tepat: “Awal dari suatu kebiasaan adalah ibarat benang yang tidak kelihatan, tetapi setiap kali kita ulangi tindakan itu, kita telah memperkuat benangnya, kita menambahkan serat lagi kepadanya, hingga menjadi kabel yang tebal dan mengikat pikiran dan tindakan kita yang tidak dapat ditarik kembali.”

Itulah neurologis. Proses terjadinya melalui tindakan yang berulang (kebiasaan). Penciptanya adalah diri kita masing-masing.

Proses terjadinya neurologis kebodohan bisa datang dari orang lain. Dalam kasus ini, orang lain sperti: guru, teman, orangtua, kolega dan lain-lain, sangat berpotensi sebagai penyebab terbentuknya neurologis kebodohan. Bila mereka kepada seorang anak sering melontarkan umpatan: “Kamu bodoh, kamu bodoh...!”, maka cepat atau lambat si anak itu membuat persepsi bahwa dirinya adalah anak bodoh. Intensitas dan frkuensi makian itu yang datangnya dari banyak orang dan lingkungan, segera membekas menjadi sebuah jalur neurologis dan diyakini oleh si anak bahwa dirinya bodoh.

Salah satu sifat kerja pikiran adalah mencatat, merekam dan menyimpan segala informasi yang masuk. Sebuah informasi akan membekas menjadi jalur neurologis atau tidak sangat tergantung pada intensitas dan frekuensinya. Semakin sering, semakin membekas, dan semakin menjengkelkan, malah semakin membekas. Bila Anda membenci akan sebuah iklan, jusrtu itulah iklan yang baik secara neurologis: ingat terus. Demikian halnya dengan umpatan “Kamu bodoh!” pada anak-anak.

Ini tidak edukatif sama sekali. Sebab, umpatan yang begitu intens akan segera membekas dan membentuk jalur neurologis kebodohan bagi si anak. Bila sudah demikian, pada saat si anak menghadapi kesulitan belajar, maka otomatis ia akan menggunakan jalur neurologis itu secara otomatis. Begitu ia menemukan masalah belajar (sulit misalnya) maka jalan penyelesaiannya adalah: “Aku tidak mungkin bisa menyelesaikannya karena aku adalah anak bodoh”.

Menurut Robbins (2006) ada enam langkah yang dapat ditempuh untuk mengatasi neurologis kebodohan. Langkah-langkah ini juga dapat digunakan oleh siapa saja yang mau merupakan kebiasaan negatif.

Pertama, putuskan bahwa Anda benar-benar ingin membuang neurologis itu. Pastikan bahwa Anda mau menggatinya segera sehingga Anda tidak lagi akibat buruk dan kerugian hidup dari neurologis kebodohan. Pastikan pula bahwa Anda siap menanggung resiko/tantangan yang menghadangnya dengan keputusan yang diambil.

Kedua, gunakan prinsip berubah sekarang atau sengsara selama hidup. Anda tidak akan pernah dapat ke luar dari neurologis kebodohan, bila tidak berubah hari ini. Berubah hari ini, berarti kepedihan, berarti rasa sakit dan kesengsaraan. Tetapi jauh lebih pedih, lebih sakit, lebih sengsara dan memilukan lagi masa depan Anda bila hari ini tidak berubah. Hanya ada satu syarat agar kepedihan hari ini tidak terasa sakit, yakni dengan cara merasakan—seolah-olah—masa depan itu sudah di tangan. Kepedihan hari ini bukanlah rintangan bila mengingat kenikmatan yang akan diperoleh. Belajar tekun, serius dan berdisiplin memang menyakitkan, tapi lebih sakit lagi bila hidupnya menjadi manusia bodoh yang tidak ada manfaatnya dan merana sepanjang waktu.

Ketiga, interupsi polanya. Anda tidak akan pernah berubah bila masih mempertahankan pola lama. Disebut berubah bila polanya dienterupsi, dirubah atau minimal digeser meski serba sedikit. Apabila Anda selama ini pola neurologisnya “selalu menghindar dari kesulitan belajar Bahasa Inggris”, maka sesekali mencoba menghadapinya meski tidak nyaman. Bila masih sulit untuk menerimanya, coba sesekali lihat dan dengar cerita-cerita sukses betapa nikmatnya bisa berbahasa Inggris. Bila perlu mencoba merasakan seolah-olah Anda bisa berbahasa Inggris, sehingga banyak peluang karir lebih nikmat dan peluang mendapatkan beasiswa studi lanjut ke luar negeri.

Atau, bila selama ini Anda selalu menghindar untuk berolah raga, artinya pola hidup rutinnya tidak suka olah raga, lebih suka rileks dan banyak tidur, coba sesekali menikmati olah raga. Bila selama ini pola neurologisnya selalu mengatakan bahwa olah raga hanya buang-buang waktu, sesekali melihat dan mendengarkan orang-orang yang tubuhnya segar bugar, dan sehat walafiat karena rajin berolah raga. Bila perlu meyakinkan diri bahwa segala-galanya tanpa kesehatan tidak berarti apa-apa. Olah raga merupakan salah satu cara untuk mencapai kesehatan itu.

Keempat, ciptakan alternatif baru yang memberdayakan. Penginterupsian seperti pada langkah ketiga di atas, merupakan langkah “pemanasan” perubahan neurologis. Pada kondisi ini Anda berada di persimpangan jalan. Mau tetap di jalan lama yang berarti tetap terperangkap dalam kebodohan, atau jalan alternatif, jalan baru yang dapat memberdayakan diri Anda. Bila selama ini Anda berada jalan neurologis “nikmat membawa sengsara” maka saatnya beralih ke jalan (alternatif) neurologis “sengsara membawa nikmat selamanya”.Bila selama ini Anda berpelukan dengan kemalasan, maka saatnya sekarang berpeluk mesra dan penuh setia dengan ketekunan.

Kelima, kondisikan pola barunya hingga konsisten. Apabila Anda sekarang sudah mulai tertarik dengan jalan alternatif dengan segala hasil yang memberdayakan dan menggiurkan, tidaklah otomatis menjadi pola baru neurologis. Masih membutuhkan pengkondisian yang konsisten sehinga menjadi pola baru yang otomatis, seotomatis kamar gelap-saklar lampu. Pola baru ini akan menjadi konsisten, membiasa, apabila tindakannya secara berulang-ulang dengan intensitas emosional yang luar biasa.

Hukum penguatan mengatakan, “Pola emosi atau perilaku mana pun yang terus dikuatkan akan menjadi respon yang otomatis dan terkondisikan. Apa pun yang tidak kita kuatkan pada akhirnya akan menghilang” Ketekunan yang semula masih lemah pada ikatan neurologis Anda, akan segera menguat dan terkondisikan bila terus dilakukan berulang-ulang dengan intensitas emosinal yang luar biasa. Bila ketekunan sudah membiasa, sudah menjadi “jalan tol” yang nyaman dan nikmat dalam setiap menghadapi persoalan pembelajaran, maka Anda akan segera melupakan jalan lama (kemalasan). Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang terbiasa dengan ketekunan. Malah sekali saja melanggarnya, Anda segera mendapatkan teguran dari alam bawah sadar agar segera kembali ke neurologis ketekunan.

Keenam, ujilah. Apakah perubahan neurologis kebodohan (pola lama) ke neurologis kecerdasan (pola baru) benar-benar mendatangkan manfaat bagi hidup Anda. Bila manfaatnya jauh lebih besar dari pada tetap pada pola lama, maka pertahankan pola baru itu. Termasuk apakah pola baru itu tidak bertentangan dengan nilai, gaya hidup dan keyakinan Anda.

Kualitas hidup kita itu sesungguhnya tergantung pada pola-pola kerja neurologis. Semakin banyak kita memiliki pola kerja neurologis yang memberdayakan diri, semakin berkualitas hidup kita. Jangan dibiasakan membangun jalur-jalur neuorogis kebodohan, dan neurologis-neurologis lainnya yang hanya menjebak hidup kita.[w]

Waidi, penulis buku-buku pengembangan diri berbasis NLP: buku On Becoming A Personal Excellent; The Art of Re-engineering Your Mind for Success; Jangan Mau Seumur-umur Dibodohi Diri Sendiri. Alumni Graduate Certificate in NLP, Sydney, dapat dihubungi: waidi_unsoed@yahoo.com.

Dari mata turun ke kaki

Dari mata turun ke kaki


Ungkapan ini bukan mengacu pada cara menilai kecantikan seorang wanita. Melihat dari mata, hidung, bibir sampai ke kaki alias dilihat fisiknya. Dari mata turun ke kaki adalah melihat dengan paradigma yang lain yang jauh lebih dalam...Maksudnya? Seperti ungkapan jaman dulu yang mengatakan bahwa mata adalah jendela jiwa, mata juga bisa dikatakan jendela hati. Makanya muncul ungkapan dari mata turun ke hati. Mata kita ini menjadi chanel yang merekam segala sesuatu dan menggiringnya ke dalam pikiran dan hati kita.


Persis dalam konteks cinta, dari mata turun ke hati. Konon dari pandangan pertama, kedua, kelima atau kesekian maka pada akhirnya akan menimbulkan reaksi alami, memunculkan getaran-getaran mistis eh maksudnya getaran-getaran yang sulit dijelaskan dan pada akhirnya berkembang menjadi cinta. Kalau anda pandangan ke berapa??? Ternyata dari mata turun ke hati tidak hanya melulu soal cinta. Mata kita juga pasti akan melihat dengan cara yang tidak biasa atah bereaksi berbeda tatkala melihat suatu musibah atau bencana. Gempa yang terjadi belum lama ini di Sumbar yang kita saksikan secara visual lewat media pasti akan menyentuh dan menggerakkan hati kita. Hati kita pasti ada simpati dan empati yang muncul dari apa yang kita lihat.


Kalau dari mata kemudian turun ke hati melahirkan ekspresi simpati dan empati maka perlu ada action untuk meresponi lebih jauh. Respon inilah yang sesuai dengan judul artikel ini, dari mata turun ke kaki. Kaki di sini maksudnya adalah melihat ke bawah, melihat orang-orang dalam posisi yang mengalami kesulitan, tergencet oleh penderitaan atau terpuruk karena musibah. Melihat ke bawah ini adalah melihat orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan memerlukan uluran tangan. Melihat ke bawah adalah salah satu wujud kepedulian kepada orang yang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan.


Dari mata turun ke kaki juga dapat dipahami sebagai suatu action atau tindakan yang kongkrit, tidak hanya sekedar berbelas kasihan tetapi mau berbuat sesuatu yang nyata untuk menolong. Melakukan reach out penjangkauan, turun secara langsung atau terlibat secara nyata adalah contohnya. Ada orang yang bisa melakukannya dengan mendatangi langsung tempat dan lokasi kejadian dan sebagainya. Kita yang nggak bisa pergi jauh toh tetap bisa melangkah untuk mensupport atau membantu orang yang dalam bencana tersebut. Tinggal melangkah ke ATM misalnya atau mendatangi posko atau menyisihkan uang yang bisa didebet di kasir supermarket adalah bentuk melangkah dan memberikan dukungan secara kongkrit.


Dari mata turun ke kaki juga adalah ikut berlutut dan berdoa, membawa dalam doa untuk orang-orang yang dalam pergumulan, kesulitan atau penderitaan. Doa itu sangat penting saat kita tidak bisa melakukan apa-apa, maka kita bisa datang dan berdoa menggunakan lutut kita dan menaikkan doa syafaat bagi orang-orang yang membutuhkan. Menggnakan kaki kita untuk berdoa yaitu dengan berlutut adalah suatu bentuk ekspresi kesungguhan dan kerinduan yang sangat dalam untuk mengharapkan intervensi yang lebih dari sang Ilahi. Kita makhluk lemah da tak berdaya, saat bencana tiba-tiba kita tidak kuasa menghindarinya. Dari kaki yang berlutut inilah juga merupakan ungkapan penyerahan dan penyandaran diri kita kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena hanya Dialah tempat Perlindungan dan Kekuatan di dalam hidup kita.
Copyright © Spesial Unik. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design