Kisah Nenek Dengan Selembar Daunnya

Kisah Nenek Dengan Selembar Daunnya
Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka.
Ia menjual bunganya di pasar, berjalan kaki cukup jauh.

Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu.
Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur.
Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid.
Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid.

Selembar demi selembar dikaisnya.
Tidak satu lembar pun ia lewatkan.
Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu.

Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat.
Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya.

Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.

Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid.
Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut.

Tidak ada satu pun daun terserak di situ.

Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras.

Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya.

"Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa.

Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu.

Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat, pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya, kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.

Sekarang ia sudah meniggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya.
"Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhir tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi
menjemput saya.
Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya."

Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus.
Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Allah swt.
Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang tinggi.
Ia tidak dapat mengandalkan amalnya.

Ia sangat bergantung pada rahmat Allah.

kalau kita ?

Source: Forwarded Email

Chinese Call- Centre

Chinese Call- Centre

Caller: "Hello, can I speak to Annie Wan"
Operator: "Yes, you can speak to me."
Caller: "No, I want to speak to Annie Wan!"
Operator: "Yes I understand you want to speak to anyone. You can speak to me. Who is this?"
Caller: "I’m Sam Wan. And I need to talk to Annie Wan! It’s urgent."
Operator: "I know you are someone and you want to talk to anyone! But what’s this urgent matter about?"


Caller: "Well… just tell my sister Annie Wan that our brother Noe Wan was involved in an accident. Noe Wan got injured and now Noe Wan is being sent to the hospital. Right now, Avery Wan is on his way to the hospital."
Operator: "Look, if no one was injured and no one was sent to the hospital, then the accident isn’t an urgent matter! You may find this hilarious but I don’t have time for this!"
Caller: "You are so rude! Who are you?"
Operator: "I’m Saw Ree."
Caller: "Yes! You should be sorry. Now give me your name!!"
Operator: "That’s what I said. I’m Saw Ree."
Caller: "Oh …….God!! ! !"

Source: Forwarded Email

The Power of the Human Mind

The Power of the Human Mind
Eonverye taht can raed tihs rsaie yuor hnad.



To my 'selected' strange-minded friends:

If you can read the following paragraph, forward it on to your friends and the person that sent it to you with 'yes' in the subject line.


Only great minds can read this
This is weird, but interesting!

fi yuo cna raed tihs, yuo hvae a sgtrane mnid too

Cna yuo raed tihs? Olny 55 plepoe out of 100 can.

i cdnuolt blveiee taht I cluod aulaclty uesdnatnrd waht I was rdanieg. The phaonmneal pweor of the hmuan mnid, aoccdrnig to a rscheearch at Cmabrigde Uinervtisy, it dseno't mtaetr in waht oerdr the ltteres in a wrod are, the olny iproamtnt tihng is taht the frsit and lsat ltteer be in the rghit pclae. The rset can be a taotl mses and you can sitll raed it whotuit a pboerlm. Tihs is bcuseae the huamn mnid deos not raed ervey lteter by istlef, but the wrod as a wlohe. Azanmig huh? yaeh and I awlyas tghuhot slpeling was ipmorantt!
if you can raed tihs forwrad it.

Source: Forwarded Email

Wives of yesterday, today and future

Wives of yesterday, today and future


:sungkem







All those who have sons now, my sympathy.

Those who have daughters, my congratulations.

Source: Forwarded Email

Three lawyers and three engineers

Three lawyers and three engineers

Three lawyers and three engineers are travelling by train to a conference. At the station, the three lawyers each buy tickets and watch as the three engineers buy only a single ticket.
"How are three people going to travel on only one ticket?" asks a lawyer.

"Watch and you'll see," answers an engineer.

They all board the train. The lawyers take their respective seats but all three engineers cram into a restroom and close the door behind them. Shortly after the train has departed, the conductor comes around collecting tickets. He knocks on the restroom door and says, "Ticket, please." The door opens just a crack and a single arm emerges with a ticket in hand.


The conductor takes it and moves on.

The lawyers see this and agree that it is quite a clever idea so, after the conference, they decide to copy the engineers on the return trip and save some money (recognizing the engineers' superior intellect).

When they get to the station, they buy a single ticket for the return trip. To their astonishment, the engineers don't buy a ticket at all.

"How are you going to travel without a ticket?" says one perplexed lawyer.

"Watch and you'll see," answers an engineer.

When they board the train the three lawyers cram into a restroom and the three engineers cram into another one nearby.
The train departs.

Shortly afterward, one of the engineers leaves his restroom and walks over to the restroom where the lawyers are hiding. He knocks on the door and says, "Ticket, please."

Source: Forwarded Email

New Aspirin for Heart Attack

New Aspirin for Heart Attack
Very important info, read, do not delete!!!!

IMPORTANT READ......


Something that we can do to help ourselves.  Nice to know..
Bayer is making crystal aspirin to dissolve under the tongue. They work much faster than the tablets.

Why keep aspirin by your bedside?
About Heart Attacks

There are other symptoms of an heart attack besides the pain on the left arm.
One must also be aware of an intense pain on the chin, as well as nausea and lots of sweating, however these symptoms may also occur less frequently..
Note: There may be NO pain in the chest during a heart attack.  The majority of people (about 60%) who  had a heart attack during their sleep, did not wake up.  However, if it occurs, the chest pain may wake you up from your deep sleep.

If that happens, immediately dissolve two aspirins in your mouth and swallow them with a bit of water..

Afterwards:
- phone a neighbor or a family member who lives very close by
- say "heart attack!"
- say that you have taken 2 aspirins..
- take a seat on a chair or sofa near the front door, and wait for their arrival and...
~ do NOT lie down ~

A Cardiologist has stated that, if each person, after receiving this e-mail, sends it to 10 people, probably one life can be saved!

I have already shared the information- - What about you?

Do  Forward this message; it may save lives!

Source: Forwarded Email

Kid Wish The Darnest Things

Kid Wish The Darnest Things
This is just too beautifull kid not to share ....



"Dear God, this year please send clothes for all those poor ladies on Grandpa's computer, Amen."

Source: Forwarded email

The Emotionally Intelligent Leader!

The Emotionally Intelligent Leader!


“Tiada instink yang lebih tajam daripada hati kita” Lord Byron


Suatu hari, seorang pemimpin sedang merayakan ulang tahun. Dengan susah payah, semua bawahannya telah mengumpulkan uang dan menunggu momen berharga ini untuk memberikan 'kejutan' berupa pesta ulang tahun di kantor mereka. Pagi itu, saat si pemimpin itu tiba, ulang tahun pun dilakukan. Semua karyawan hadir. Pesta kecil-kecilan pun berlangsung. Namun, si pemimpin itu mukanya datar-datar saja dan setelah setengah jam lebih, setelah nyanyian ulang tahun dan tiupan lilin, si pemimpin itu berkata dengan dinginnya, "Udah ya. Saya tidak ingin kalian berlama-lama dengan kegaiatan seperti ini di pagi hari. Kalian mesti segera kembali ke tempat kerja!"

Begitu juga, di lain kesempatan, ada seorang pemimpin yang anak buahnya baru saja kehilangan orang tuanya. Akibatnya, si anak buah tersebut harus pulang ke kampungnya untuk beberapa hari. Di hari yang kedua sejak kepulangannya, si anak buah ini mendapatkan SMS dari atasannya yang bunyinya, "Tolong jika semua urusan sudah selesai, segera kembali masuk kantor karena banyak tugasmu yang terbengkalai"

Pembaca, itulah berbagai pengalaman nyata yang dialami oleh beberapa anak buah dengan atasannya yang kurang cerdas emosinya. Mereka-mereka adalah para leader yang naik ke posisinya karena kemampuan teknisnya yang bagus, tetapi dari sisi kecerdasan emosi (EQ), mereka masih harus banyak belajar.


Tantangan Para Leader
Untuk menjadi pemimpin yang tinggi EQ-nya sebenarnya bukanlah hal yang sepele, tetapi bukan juga bukannya tidak mungkin. Banyak pemimpin menyepelekan EQ, karena dianggap terlalu soft (ringan) dan dengan mudah bisa dipelajari. Mereka salah! Dan dampaknya, banyak pemimpin yang kurang mengembangkan sisi EQ-nya. Tatkala posisi mereka semakin bergerak kepuncak organisasi, tuntutan akan kemampuan EQ-pun semakin kritikal. Nah, disinilah banyak diantara mereka yang mengalami stagnasi dalam karirnya, gara-gara kemampuan EQ-nya jeblok.

Saya pribadi jadi teringat dengan buku karya John D. Mayer dan Peter Salovey terbitan tahun 1997 yang berjudul “Emotional Development dan Emotional Intelligence”. Buku ini terbit lantar terinspirasi melihat adanya gap yang cukup lebar antara pentingnya emosi dalam kehidupan (harapan) para pemimpin dibandingkan dengan tingkat pemahaman pemimpin akan emosi orang lain yang cenderung di bawah yang rata – rata (kenyataan).

Dari buku tersebut, saya diinspirasikan beberapa tips bagaimana cara untuk menjadi pemimpin yang cerdas secara emosional. Inilah yang seringkali kita sebut sebagai Emotional Blueprint. Apakah itu? Ini empat tips Emotional Blueprint yang bisa menjadikan Anda sebagai Emotionally Intelligent Leader!

Empat Emotional Blueprint
Pertama, membaca serta mengidentifikasi emosi orang lain. Ketika pertama kali bertemu seseorang, apakah Anda bisa menerka dengan pas apa yang dirasakan orang tersebut? Apakah Anda bisa membaca suasana hati mereka? Inilah hal pertama yang perlu dimiliki jika Anda saat ini adalah seorang leader yakni kemampuan mengidentifikasi secara akurat emosi orang lain serta bagaimana bersikap terhadap emosi tersebut.

Kelemahan banyak leader, umumnya terletak pada ketidakpekaan mereka terhadap apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. Masalahnya, banyak leader merasa bahwa mereka berada dalam posisi 'dipahami' bukan untuk 'memahami'. Ini sama halnya dengan kasus Marie Antoinette, istri raja Louis XVI yang akhirnya diganjar dengan hukuman pemenggallan kepala dengan pisau guilottine. Konon, katanya rakyat bisa saja menyelamatkan dirinya, tetapi rakyat sudah terlanjur kecewa lantaran tidak pernah 'didengarkan'. Dan kisah Maria Marie Antoinette, seringkali dijadikan sebagai simbol pemimpin yang tidak peka terhadap perasaan orang yang dipimpinnya.

Yang jelas, dengan kemampuan kepekaan yang tinggi terhada perasaan orang lain, maka kita bisa bertindak dengan tepat terhadap orang tersebut. Inilah langkah paling pertama dan paling fundamental.

Langkah kedua, yakni menggunakan kekuatan emosi. Inilah kemampuan kedua yang perlu dimiliki seorang leader yang cerdas emosinya, yakni kemampuan memilih serta memutuskan emosi apakah yang tepat untuk membantunya mencapai sasarannya. Disini, para pemimpin mestinya sadar bahwa, penyebab mengapa seseorang tidak perform dalam pekerjaannya, banyak disebebkan karena penggunaan emosi yang salah atau tidak pada tempatnya.

Contohnya untuk menciptakan suasana kerja yang baik, tentunya harus melibatkan unsur emosi yang fun serta menyenangkan dan penuh dengan antusias. Apa jadinya jika emosi yang dilibatkan adalah emosi sedih, tidak mood. Tentunya akan counter produktif, kan? Makanya, seorang leader ber-EQ tinggi, mengerti bagaimana menciptakan suasana emosi yang pas untuk menunjang pekerjaan timnya. Lihatlah kisah Napoleon Bonaparte yang konon begitu mampu menciptakan emosi yang luar biasa pada prajuritnya, sehingga dikatakan kehadiran dirinya saja setara sudah dengan 1000 tentara! Nah, pertanyaannya, bagaimana dengan emosi yang tercipta dari kehadiran Anda di tim Anda?

Ketiga, belajar memahami emosi terselubung. Emosi memiliki bahasa tersendiri. Kemampuan untuk memahami emosi berarti Anda dapat merasakan serta memahami emosi orang lain, sehingga Anda dapat berespon dengan cara yang efektif. Namun seringkali saya dibanjiri pertanyaan, "Kalau mereka tidak bilang, bagaimana saya bisa tahu?". Nah, justru disitulah tantangannya. Salah satu tantangan sebagai seorang leader adalah dapat memahami emosi – emosi yang tidak terkatakan bahkan tidak terungkapkan, khususnya oleh tim yang Anda pimpin. Saat Anda mahir dengan kemampuan ini, produktifitas kerja dengan tim akan dapat dilipatgandakan. Pertanyaannya apakah kita bisa peka untuk memahami emosi terselubung dari orang lain? Bagaimana caranya? Secara spesifik biasanya saya kupas tuntas di dalam program Kecerdasan Emosional selama 3 hari, yang kami adakan juga di bulan ini.

Keempat, kelola emosi pribadi. Perlu dipahami, emosi sendiri mengandung informasi yang penting. Sebagai seorang leader sangatlah berharga untuk selalu peka terhadap emosinya sendiri. Apa yang sedang disampaikan oleh bawah sadar Anda kepada diri Anda melalui emosi yang Anda rasakan? Selanjutnya, seorang pemimpin bisa menggunakan informasi dari meosinya sendiri untuk menuntunnya dalam proses pengambilan keputusan. Sudah berulang kali, saya mendengar kisah dari pemimpin yang terlepas dari pengambilan keputusan bisnis yang fatal lantaran mendengarkan emosinya yang merasa 'kurang sreg'.

Intinya, mulai sekarang, untuk menjadi leader yang tinggi EQ-nya, Anda harus mulai belajar kelola emosi diri sendiri maupun emosi orang lain. Untuk itu, renungkanlah dan ukurlah keempat Emotional Blueprint ini dalam hidup Anda. Selamat menjadi Emotionally Intelligent Leader!

(Anthony Dio Martin & Tim HR Excellency)

Love Never Fails

Love Never Fails
 "Love Never Fails", adalah film kesaksian  yang mengisahkan Kisah Cinta Sejati antara Ralph, seorang aktor film Singapura bersama dengan istrinya Alice.  Ralph dan Alice,  menikah tanggal 28 Agustus 1993 di Hong Kong. Sebagai anak Tuhan, mereka berkomitmen dan berdoa agar pernikahan mereka adalah untuk memuliakan Tuhan. Agar nama Tuhan dimuliakan dalam pernikahan mereka.


Seminggu sebelum menikah Ralph mengeluh kepalanya pusing dan tidak bisa mendengar perkataan istrinya. Mereka memutuskan untuk ke dokter seminggu setelah pernikahan.  Setelah dicek, dokter mengatakan bahwa Ralph terkena kanker. Ralph sangat terkejut. Ralph masih muda dan Alice bertanya kembali kepada dokter,"Are you sure?" Dokter meyakinkan bahwa itu memamng kanker dan harus dilakukan biopsi. Ralph harus  menjalani radiasi yang menyakitkan. Radiasi itu tidak hanya  mematikan sel-sel dari cancer. tetapi itu juga akan mematikan sel-sel normal. Efeknya sangat menyakitkan karena membuat Ralph sulit untuk menelan makanannya.
Suatu hari Ralph ingin makan dan ia  minta tolong kepada istrinya karena ia sangat kesakitan. Alice istrinya tidak dapat berbuat apa-apa, Alice hanya berdoa, "God you are God. who can do miracle. can you help us". Kemudian tiba-tiba dia teringat mengenai ayat mengenai laut merah. Ketika itu, si Ralph melihat tangan Tuhan, memegang tangannya, dan membimbingnya mengambil gelas susu yg besar, kemudian dia meminum segelas susu hingga habis tanpa rasa sakit". Alice mengingat bahwa itu adalah sebuah miracle.

Kondisi Ralph makin lama makin memprihatinkan. Tumor menjadi ganas dan mulai menyerang mata kirinya dan otaknya. Tumor ini sangat amat agresif dan dokter menyatakan hidupnya hanya tinggal 3 bulan. Perlahan demi perlahan, tumor mulai merusak muka dan rambutnya. si istri sangat takut, bila suaminya menjadi down dan meninggalkan Tuhan. Tetapi suatu hal yang luar biasa. Ralph tetap setia kepada Tuhan. Ralph mengerti bahwa Tuhan mengasihi dia dan dia percaya akan hal itu. bahkan ketika dokter meninggalkan ruangan di berkata kepada istrinya "Alice, the bible tells us, Our lives are in the hands of God NOT in the hands of a doctor. It is not God`s will, that I go to heaven yet. I know that God wants me to experience HIM more". Sungguh pernyataan yang amat luar biasa dengan kondisi wajah yg sudah rusak dan hidup yang tinggal sebentar lagi. Ralph selalu mengatakan "I still believe in God. I believe in our Lord Jesus Christ 100%".

Ralph  mulai bersaksi dengan didampingi oleh istrinya yang terus setia mendampinginya. Ralph menyaksikan bagaimana didalam segala kesakitannya, dan penderitaannya untuk tidur, makan dan aktivitas lainnya, dia merasa Tuhan tetap mengasihi dia.setiap dia mulai putus asa, dia selalu berdoa dan minta kekuatan kepada Tuhan unt berbicara kepadanya. datu ayat yang memberikan Ralph kekuatan adalah dari Yosua 1:9 " Kuatkan dan teguhkanlah hatimu? jangan kecut dan tawar hati, sebab Tuhan Allahmu, menyertai engkau, kemana engkau pergi".

Walaupun kondisinya yang sakit dan luar biasa dia tetap bersemangat untuk bersaksi dan mengabarkan Injil. Pernah suatu hari dia bertemu dengan orang yang tidak mengenal Yesus. dengan wajahnya yang memburuk dan mata yg hampir tidak dapat dibuka dia masih menyapa orang itu dan berkata "Have you ever heard about Jesus?".Dengan cancer yang menyerangnya, dengan kesakitan yg dimilikinya, dia tetap selalu mensharekan bahwa "Jesus loves you ".

Alice semenjak Ralph sakit menunjukkan kasih sayang dan kesabaran yang sangat luar biasa dalam mendampingi suaminya. Alice menjaganya, menyiapkan makanan, membersihkan luka2xnya, dan hanya tidur di kursi untuk menjaga suaminya. Dokter dan orang-orang mengakui dia memiliki kekuatan luar biasa seakan-akan kekuatan dari tiga suster rumah sakit. Alice menunjukkan cintanya dalam suka dan duka, sehat dan sakit. Cinta yang kekuatannya didorong oleh kasih Agape, kasih Ilahi.

Ketika Alice  melihat kesehatan suaminya semakin merosot dan wajahnya semakin mengerikan, setiap saat Alice memeluk Ralph, Alice tidak pernah merasa takut. Alice berkata "Setiap saya melihat wajah suami saya, saya melihat Kasih Yesus terpancar dari wajahnya. Dari dirinya saya melihat Yesus. setiap saya melihatnya, saya selalu ingin mencium dia. saya sungguh-sungguh merasakan  bahwa perkawinan yg Tuhan berikan sungguh merupakan suatu anugerah Terbesar yg pernah Tuhan berikan yyang menyatukan kami menjadi satu."



Dalam suatu kejadian, ketika si Alice melihat suaminya, dia  menangis dan  berkata "Lord, life is in your hands. Lord, Ralph is Yours not mine. You Love him much more than I do. I thank You that You love him. Lord have mercy. please give me strength to trough this moment."

Pada akhirnya Ralph dipanggil Tuhan, tapi ketegaran imannya dan kesetiaan dari Ralph kepada Tuhan, kasih Alice kepada suaminya sungguh sangat mengaggumkansa. Kasih istrinya tidak berubah walaupun wajah Ralph memburuk dan kasih Ralph kepada Tuhan juga tidak berubah walau kenyataannya dia tidak mengalami kesembuhan. Inilah Love Never Fail. Cinta Kasih Sejati.




Image from : Living Testimonies






A Promise Kept : Kisah Cinta yang mengalahkan Alzheimer

 Bagaiamana kita bisa mengasihi seseorang yang berubah begitu drastis bahkan menjadi orang yang asing dan tidak seperti yang kita kenal dalam pernikahan kita? Mungkinkah kita bisa mengasihi orang tersebut? Saat Alzheimer masuk dalam pernikahan, janji,”dalam suka maupun duka, kaya atau miskin, sehat atau sakit” yang diikrarkan dalam pernikahan diuji dalam tingkat yang paling tinggi.

Robertson McQuilkin, seorang president dari seminari yaitu  Columbia International University menghadapi kenyataan ini saat istrinya didiagnosa Alzheimer.  Dia dihadapkan pada dua  panggilan Ilahi, panggilan antara memegang jabatan tersebut atau merawat istrinya yang mengalami  penyakit Alzheimer. Panggilan sekaligus pilihan ini merupakan hal yang menjadi pergumulan berat bagi dirinyaa. Dia bergumul untuk memutuskan pada siapa ia kan memberikan dirinya sepenuh waktu. Ia mengatakan,”Ini adalah masalah integritas, Bukankah saya sudah berjanji, 42 tahun sebelumnya,”dalam keadaan sehat dan sakit…..sampai kematian memisahkan kita?”
Dalam pidato pengunduran dirinya dia mengatakan, “Dia (Muriel) berkorban untuk saya selama empat puluh tahun yang membuat hidup saya seperti sekarang ini. Jadi jika saya merawatnya selama empat puluh tahun, saya masih  berhutang. …Saya sangat mencintainya…..Dia adalah orang yang menyenangkan. Ini adalah suatu kehormatan besar untuk merawat orang yang mengagumkan.”

Seorang mahasiswa yang mendengar Robertson telah mengundurkan diri dari jabatannya untuk menjaga istrinya bertanya,”Apakah anda  merindukan jabatan  president tersebut?”Scott bertanya sewaktu kami duduk di taman yang kecil. Saya mengatakan bahwa saya tidak pernah memikirkan hal itu, dalam refleksi pun tidak. Tidak, saya tidak pernah melihat ke belakang.  

Muriel tidak dapat berbicara dalam beberapa kalimat, hanya beberapa kata yang sedikit sekali artinya dan sering ia mengatakan "tidak" padahal maksudnya adalah "ya,". Tapi dia dapat mengatakan satu kalimat, dan dia sering mengatakan: "Aku mencintaimu." 
         
Lalu tibalah hari Valentine itu.

Hari Valentine adalah hari yang istimewa bagi kami berdua karena pada pada tanggal 14 Februari 1948 saya melamar Muriel. Pada malam Valentine 1995 saya membaca sebuah statemen dari para ahli Alzheimer yang menyatakan bahwa penyakit itu sangat mengerikan dari semuanya, dan bahwa ‘korban’ yang sesungguhnya adalah orang yang merawat atau yang memberi perhatian. Robertson mengatakan bahwa ia tidak pernah merasa sebagai seorang korban. Malam itu dia menulis dalam jurnal pribadinya,”Alasannya adalah saya tidak merasa sebagai korban-saya tidak.” Ketika orang lain mendesak saya untuk berhenti, saya menjawab, "Apakah Anda menyadari betapa kesepiannya saya tanpa dia?"  Di malam Valentine itu saya memandikan Muriel di tempat tidurnya dan menyajikan makanan kesukaannya setelah itu saya menciumnya (dia masih menikmati dua hal: makanan yang baik dan mencium!), Robertson membisikkan sebuah doa ,”Tuhan Yesus yang baik, Engkau mengasihi Muriel lebih dari aku mengasihinya, karena itu jagalah kekasih hatiku ini sepanjang malam dan biarlah ia mendengar nyanyian malaikat-Mu. Amin!”
          Pagi harinya Robertson berolah raga dengan menggunakan sepeda statisnya sambil mengenang hari-hari indah bersama Muriel di dekat ranjang istrinya, Muriel perlahan-lahan terbangun dari tidurnya. Akhirnya, ia bangun dan, seperti yang sering dilakukan, tersenyum padaku. Kemudian, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan ia berbicara, memanggil-manggil saya dengan suara jernih seperti kristal, " Sayangku…Sayangku… Sayangku." Aku melompat dari sepeda dan berlari untuk memeluknya. "Sayang, kamu benar-benar mencintaiku, bukan?" Dia menatap saya dan menepuk punggung saya. Dia merespons dengan kata-katanya sendiri : "O indahnya," katanya. Ternyata itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Muriel kepada Robertson

Copyright © Spesial Unik. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design